Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagaimana Literasi Digital Sebagai Alternatif dan Tantangan Pembelajaran Sastra Untuk Siswa Madrasah Ibtidaiyah di Masa Depan?

Sastra adalah salah satu identitas bangsa Indonesia yang tidak bisa begitu saja di lupakan dan ditiadakan, karena karya sastra sebagai manifestasi pemikiran bangsa sekaligus budaya yang perlu dilestarikan. Sastra juga bentuk pengungkapan para sastrawan dan akademisi dalam ranah sosial, budaya, maupun politik. Dan agar sastra dapat tetap lestari, maka semua kalangan juga harus berperan dan mengambil andil dalam pelestarianya termasuk kaum remaja. Dalam perkembangan zaman yang begitu signifikan ini, informasi berkembang tidak hanya lewat media yang bersifat nyata atau 3D tetapi, informasi berkembang di media digital atau virtual.

Menurut Wikipedia sastra merupakan kata serapan dari bahasa sansekerta yang berarti “teks yang mengandung intruksi” atau “pedoman”. Sastra  merupakan  sarana yang  digunakan  pengarang  yang berisi  ide  dan gagasan  terhadap  karya  seni (Regina,2015: 3). Sedangkan, karya  sastra sendiri  merupakan  wadah  seni menampilkan  keindahan  lewat  penggunaan bahasa  yang  menarik, bervariasi,  dan  penuh  imajinasi  (Keraf,  2002:115). Selain   memberikan hiburan  dan  pendidikan,  karya  sastra  juga  dapat mempengaruhi  pembaca  lewat  isi  dan maknanya. Karya  sastra juga menerima  pengaruh  dari  masyarakat  dan  sekaligus  mampu memberi pengaruh sosial terhadap masyarakat (Semi, 1990:37). Tidak salah jika karya sastra bisa mengikuti perkembangan zaman dan pola budaya dalam masyarakat yang dari tahun ke tahun yang  berubah-ubah. Contohnya seperti puisi maupun buku zaman 1940-an mengandung unsur perjuangan kemerdekaan dan puisi dan zaman 2000 mengandung romantisme dan penyikapan isu-isu. Bisa dikatakan, sastra sudah sangat melekat dalam masyarakat dahulu dan kini sastra butuh para penerus untuk melestarikan dan mengembangkannya.

Literasi digital menurut UNESCO adalah “kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan mengomunikasikan konten atau informasi, dengan kecakapan kognitif, etika, sosial emosional dan aspek teknis atau teknologi”(Adepina, 2018:ii). Konsep literasi  digital  kemudian  mengemuka  karena  pengertiannya  tidak  hanya  terkait  dengan  penguasaan  teknis  komputer  melainkan  juga  pengetahuan  dan  juga  emosi  dalam  menggunakan  media  dan  perangkat digital, termasuk internet (Buckingham, 2006:45-46). Data survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2016) menunjukkan bahwa 132,7 juta dari 256, 2 juta ( 51,8%) masyarakat Indonesia menggunakan internet pada tahun 2016 (Novia kurnia,2017:4).

Literasi Digital


Pembelajaran sastra juga dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang  No.  20  Tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  yang berbunyi  “Pendidikan  nasional  berfungsi  mengembangkan  kemampuan  dan membentuk   watak   serta   peradaban  bangsa   yang   bermartabat   dalam   rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik  agar  menjadi  manusia  yang beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang Maha  Esa,  berakhlak  mulia,  sehat,  berilmu,  cakap,  kreatif,  mandiri,  dan  menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Jika remaja zaman sekarang bersemangat dan berkeinginan untuk membuat karya sastra maka, itu termasuk dari implentasi dari kreatif dan menjadi warga negara yang bertanggungjawab untuk bangsa dan negara.

Mengapa dalam Pembelajaran sastra perlu adanya literasi digital? Karena sebelum dan dalam pembelajaran dan pembuatan karya sastra harus diawali dengan proses membaca, mencari informasi maupun mengumpulkan data agar karya sastra tersebut berkualitas. Dan pengenalan karya sastra yang cocok di Era sekarang dan kedepan salah satunya dengan literasi digital yang sangat digemari kalangan muda termasuk anak SD/MI .Di Indonesia sendiri, lebih kurang 50% pengguna internet adalah digital native.Digital native adalah mereka yang lahir setelah tahun 1980Bisa dikatakan apabila pengguna dari internet adalah rata-rata dari umur 38 tahun kebawah(Adepina, 2018:iii). internet dianggap memiliki dampak positif, karena dapat  digunakan sebagai sarana belajar oleh anak. Sebagai contoh, studi yang dilakukan Christina Davidson (2011)menunjukkan bahwa internet bisa digunakan secara positif oleh anak-anak di rumah. Melalui kasus yang sederhana, Davidson (2011:38-41).

Literasi digital yang diinginkan untuk anak MI/SD disini adalah lebih mengarah kepada proses belajar menggunakan media visual, audio maupun audiovisual yang bersifat maya dan berbasis internet. Apabila kedepannya kita hanya menggunakan cara pembelajaran yang langsung atau pembelajaran yang monoton seperti ceramah dan tanya jawab maka, pembelajaran dikelas bisa saja tidak efektif maupun efesien. Secara intelektual usia anak SD/MI memiliki karakteristik yang cenderung senang bermain, bergerak adan belajar secara langsung atau kontekstual (Desmita,2011 :35) sedangkan dalam perkembangan bahasa anak usia SD/MI sudah sangat pesat, mereka mampu menguasai sekitar 2.500 kata dan pembelajaran sastra juga sebagai pemerkuat dan penunjang dari pemerolehan bahasa(Syamsu Yusuf dan Nani M Sugandi, 2011:59-60), dalam hal pembelajarannya mereka juga menyukai hal yang berwarna dan cenderung membangkitkan daya imajinasi seperti gambar-gambar kartun maupun animasi.

Tidak salah apabila anak usia SD/MI menyukai dunia virtual maupun dunia digital yang notabene berisi banyak konten maupun video yang mencolok warna dan gambarnya. Pembelajaran sastra dengan ini diharapkan lebih terfasilitasi dengan gambar-gambar maupun video yang berisi tulisan yang dapat menarik perhatian anak SD/MI. lebih   literasi digital secara tidak langsung memang bisa menjadi solusi di era akan datang dalam pembelajaran sastra yang memang perlu dilestarikan.

Literasi digital sendiri juga memiliki dampak maupun akibat negatif yang tidak sedikit.Orangtua juga menganggap bahwa internet mempunyai dampak negatif terhadap anak, misalnya berhubungan dengan perilaku agresif sebagai dampak dari akses konten yang mengandung kekerasan melalui internet (Hughes & Hans, 2004).Kecenderungan ini biasanya dilakukan oleh pengguna internet yang relatif baru karena pengetahuan yang terbatas, emosi yang belum cukup matang, dan euforia dalam menggunakan internet. Oleh karena anak cenderung beraktivitas online sendirian, penting artinya bagi orang tua melakukan pengawasan untuk dapat mengurangi dampak negatif internet (Leung & Lee, 2011: 118).internet acapkali dianggap menimbulkan kecanduan yang menyebabkan anak-anak kurang berinteraksi dengan anggota keluarga lain maupun teman sebayanya.

Alasan lain, internet sering dianggap memberikan dampak negatif karena alasan konten, seperti pornografi, kekerasan, dan  cyberbullying. Di sisi lain, internet juga dianggap memiliki dampak positif, karena dapat  digunakan sebagai sarana belajar oleh anak. Sebagai contoh, studi yang dilakukan Christina Davidson (2011)menunjukkan bahwa internet bisa digunakan secara positif oleh anak-anak di rumah. Melalui kasus yang sederhana, Davidson (2011:38-41). Memang Literasi digital disini memerlukan adanya suatu pengawasan dan pengarahan orang yang lebih dewasa termasuk salah satunya adalah guru. Bahkan jika perlu, harus melakukan riset kedepan tentang bagaimana melakukan pembelajaran termasuk sastra yang aman, nyaman dan terkendali menggunakan media digital.Nah, dari sini maka sudah diketahui literasi digital bisa menjadi salah satu solusi maupun menjadi suatu tantangan luar biasa kedepannya dan khususnya dalam dunia pembelajaran sastra. 

By : Khoirun Nisa’