Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BAGAIMANA MENGATASI KRITIS MORAL GENERASI PENERUS BANGSA?

PENDAHULUAN
Pendidikan dan segala isinya tentu banyak hal didalamnya, termasuk permasalahan atau problematika yang ada. Dalam artikel ini memfokuskan problematika dalam dunia pembelajaran, sekolah dan sekitarnya. Membicarakan permasalah segala sesuatu pasti memiliki masalah, hanya saja entah itu disadari atau tidak. Permasalahan yang tidak disadari sejak dini akan menimbulkan dampak besar nantinya. Dalam artikel ini penulis akan menyajikan permasalahan yang ada, cara mengatasinya, dan sebab musabab permasalahan itu muncul. Seorang guru memanglah sulit untuk menyeimbangkan kecerdasan intelektual disamping kecerdasan moral yang terlihat remeh.

Mengatasi krisis moral


Dengan meningkatkan kecerdadan moral setidaknya akan membuat si anak menjadi pribadi yang solid, tangguh, memiliki empati, dan mampu merasakan yang orang-orang rasakan disekitarnya. Dalam buku Robert Coles “The Moral Intellegence of Children” juga membahas betapa pentingnya kecerdasan moral anak. Dengan mengembangkan pendidikan moralnya sejak dini akan melindungi kehidupan moral anak. 

PEMBAHASAN 
Pertama-tama pengertian dari kecerdasan moral adalah kemampuan memahami mana yang benar dan mana yang salah. Maksudnya bertingkah dilandasi dengan etika yang kuat dan didasarkan dengan keyakinan, sehingga menjadikan orang berbuat benar dan terhormat. Sedangkan moral adalah penentuan baik-buruk terhadap suatu perbuatan dan kelakuan manusia, contohnya suka menolong sesama yang sedang susah. Menurut Abu Ahmadi (1992), empati merupakan suatu kecenderungan untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andaikata kita dalam situasi orang lain tersebut, karena empati orang menggunakan perasaannya dengan afektif didalam situasi orang lain. Jadi empati dan moral saling berkesinambungan ditambah lagi dengan penjelasan dari aniel Goleman (1997: 136), “Kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain”. Empati adalah akar dari munculnya rasa kasih sayang yang selnajutnya hadirlah karakter moralitas dalam setiap hubungan emosional.

Borba (2001) menyatakan kecerdasan moral terbangun dari tujuh kebajikan utama yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, baik budi, toleransi dan adil yang membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan etika yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya kelak(Ahyani & Kudus, 2010).
Permasalahan moral secara umum dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan teknologi. Disadari atau tidak pengaruh televisi, video game, film, internet, dan lagu-lagu juga ikut andil dalam pengaruh moral anak, seolah-olah dengan keagresifan akan menyelesaikan masalah. Perlu diketahui juga bahwa anak-anak tidak tahu caranya mengendalikan perasaan dan sulit mengontrol diri(Borba, 2003).

Memang masalah penurunan moral anak semakin miris begitu juga dengan faktornya yang begitu kompleks. Namun, tak dipungkiri penyebab merosotnya nilai moral ini disebabkan oleh dua faktor. Yang pertama, lingkungan tempat anak dibesarkan yang mencakup kondisi keluarga, bagaimana ia mendapat perlakuan, dan bagaimana sekelilingnya meperlakukan orang lain sangatlah berdampak pada kesiapan anak yang mudah meniru. Dalam hal ini menekankan orang tua maupun pendidik untuk memberikan kewaspadaan, memberikan ilmu spiritual dan agama, dukungan masyarakat, dan pola asuh yang benar. Yang kedua, anak-anak menerima dan mendengar masukan, saran, dan suara yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat sekitar. Jadi dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan moral adalah ancaman. Jelas kedua faktor tersebut benar-benar berdampak besar karena kedua hal itu sering terjadi maka, akan meletak pada kepribadian anak.

Merosotnya moral anak bagsa yang melanda negeri ini semakin miris saja bila dirasakan, bagaimana tidak? Pendidikan yang dipercaya, yang digadang-gadang mampu meumbuhkan jiwa-jiwa berkarakter kuat ternyata sebagian besar hanya peduli pada peningkatan nilai-nilai akademik, kecerdan intelektual yang tak diimbanig dengan karakter. Hal ini pun, pembelajaran dalam dunia pendidikan yang masih didominasi oleh transfer of knowledge sebagai akibat tumbuhnya budaya verbalistik (Sanusi, 1993), yang menjadikan implementasi dalam dunia pendidikan yang cenderung mementingkan kompetensi akademik. Perlu diketahui bahwa tahap-tahap perkembangan moral menurut John Dewey, yaitu: 
1. Tahap pramoral, ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.
2. Tahap konvensional, ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan.
3. Tahap otonom, ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas.

Lickona (1991) mengemukakan bahwa pendidikan nilai/moral yang menghasilkan karakter, didalamnya terkandung tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan perbuatan moral (moral action). moral Pendidikan berbasis karakter yang menamkan moral pada peserta didik akan efektif apabila diberikan secara simultan dan sinergis. Hal itu dapat direalisakikan dalam empat pilar, yakni, (1) kegiatan belajar mengajar di kelas, dengan mengimplementasikan pendidikan karakter yang menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach); (2) kegiatan keseharian dalam bentuk penciptaan budaya sekolah (school culture); (3) kegiatan untuk kurikuler dan atau ekstrakurikuler; dan (4) kegiatan keseharian di rumah dan dalam masyarakat (Katresna,  2010: 9).

Jika sekolah-sekolah menerapkan pendidikan karakter dengan pola pembelajaran konvensional, hanya akan mengajarkan pendidikan moral sebatas tekstual semata dan kurang mempersiapkan peserta didik untuk menyikapi kehidupan yang kontradiktif (Zubaedi, 2011:2). Untuk itu pergesaran pembelajaran konvensional ke arah pola pembelajaran inovatif menjadi syarat dalam pendidikan karakter untuk dapat mengembangkan kecerdasan moral secara efektif. Dengan contoh menggeser gaya pembelajaran konvensional menuju pembelajaran inovatif yakni pendekatan student centered, Posisi guru sebagai director of learning, dan Evaluasi: kognitif, afektif dan psikomotor. Selaku paparan tersebut guru dituntu profesional terhadap materi yang dikuasai berbagai metode, teknik, model, pendekatan, dan strategi pembelajaran dan dimasukkan dalam program pembelajaran.

Frankena (Adisusilo, 2012:128) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan moral mencakup: (1) membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan tingkah-laku yang secara moral baik dan benar; (2) membantu peserta didik untuk dapat meningkatkan kemampuan refleksi secara otonom,…; (3) membantu peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral, norma-norma dalam menghadapi kehidupan konkretnya; (4) membantu peserta didik untuk mengadopsi prinsip-prinsip universal, nilai-nilai kehidupan sebagai pijakan untuk pertimbangan moral dalam menentukan suatu keputusan; dan (5) membantu peserta didik untuk mampu membuat keputusan yang benar, bermoral, dan bijaksana.(Sudrajat, 2011)

DAFTAR PUSTAKA
Ahyani, L. N., & Kudus, U. M. (2010). Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan. Jurnal Psikologi, I(1), 24–32.
Borba, M. (2003). Tips for building moral intelligence in students. Curriculum Review.
Sudrajat, A. (2011). Mengapa Pendidikan Karakter? Jurnal Pendidikan Karakter.
https://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi#Pendidikan_karakter_atau_moral
https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/1287

by ADE MEI NURUL MAWADDAH - D07218002