Mempertegas Peran Madrasah Sebagai Pelopor Gerakan Indonesia yang Berkarakter
Oleh: Aris Adi Leksono
Kegelisahan masyarakat Indonesia mengenai kondisi bangsa dan negara dewasa ini merupakan suatu hal yang harus dimaknai positif, terutama oleh para pengambil kebijakan. Kegelisahan seperti sekarang ini pernah dirasakan sebelumnya, saat menjelang terjadinya Arus Reformasi kita merasa sangat gelisah. Dan sebelum terjadinya Tragedi 1965 kita juga merasakan adanya suatu kegelisahan yang sangat mencekam. Di masa-masa lampau kita dapat keluar dari setiap krisis yang terdapat dibalik kegelisahan yang kita alami. Pertanyaannya, apakah kita juga akan keluar dengan selamat dari krisis yang akan menyusul kegelisahan kita sekarang ini, terutama terkait memudarnya karakter berbangsa dan bernegara?
Bagaimana Wajah “Indonesia yang Berkarakter”?
Ini merupakan suatu pertanyaan yang mau-tidak-mau harus kita jawab dengan baik. Maksud saya: kita harus menemukan suatu konsensus mengenai soal ini, bagaimana pun longgarnya konsensus itu pada taraf awal. Konsensus ini harus kita capai melalui suatu dialog kultural. Artinya, kita harus belajar melakukan dialog antara kita mengenai ciri-ciri kultural dari masyarakat Indonesia yang akan kita pandang bersama sebagai “Indonesia Yang Berkarakter.”
Ada dua kesukaran besar yang kita hadapi dalam hal ini. Pertama, kita lebih senang melakukan perdebatan daripada dialog. Memang perdebatan adalah suatu bentuk dialog, tetapi perdebatan-perdebatan yang kita lakukan lebih sering berupa “monolog kolektif” daripada dialog dalam arti yang sebenarnya. Dalam dialog yang benar terdapat usaha untuk saling mendengarkan dan saling memahami, pada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam “monolog kolektif” yang terjadi ialah bahwa dua pihak atau lebih sama-sama berbicara, tetapi tidak saling mendengarkan. Hasilnya ialah bahwa pihak-pihak yang terlibat tidak saling memahami. Dan akhirnya tidak tercapai kesepekatan yang lahir dari pengertian timbal-balik (mutual understanding) dan penerimaan pandangan yang bersifat timbal-balik pula. Yang muncul dari perdebaran politik seperti ini ialah perhitungan suara mengenai penerimaan atau penolakan terhadap pandangan-pandangan yang muncul dalam perdebatan. Ini lalu kita sebut “konsensus”. Benarkah persetujuan seperti ini merupakan suatu “konsensus”? Artinya, kalau kesepakatan seperti ini hendak disebut juga sebagai konsensus, maka ini meruapakan suatu konsensus yang dangkal, konsensus yang dipaksakan. Konsensus yang benar, yang genuine, selalu ditandai oleh adanya “consent”.
Kesukaran kedua ialah karena masyarakat lebih terbiasa mendiskusikan perbedaan pandangan pada tataran politik, tidak pada tataran kultural. Pada tataran politik berpikir tentang format, sedangkan pada tataran kultural berpikir tentang nilai. Membahas perbedaan pandangan pada tataran kultural membutunkan jangka waktu yang jauh lebih panjang daripada membahasnya pada tataran kultural. Idealnya perdebatan politik dilandasi oleh pandangan yang telah digodok dalam diskusi secara kultural, sehingga perdebatan yang timbul tidak menjadi polemik di masyarakat.
Jadi, kalau ingin keluar dari transisi demokrasi ini, dan merintis jalan menuju “Indonesia Berkarakter”, suka atau tidak masyarakat, terutama para elite harus belajar melakukan dialog kultural. Sembari memupuk kemampuan masyarakat untuk melakukan dialog kultural. Kita harus mengajak masyarakat untuk belajar saling mendengarkan, saling memahami, dan membahas nilai-nilai yang mendasari pilihan atau preferensi kita. Ini suatu proses yang memerlukan pendidikan mendasar, bukan pendidikan yang bersifat instan, atau “pendidikan dadakan” dalam Bahasa Jawa.
Belajar dari Pengalaman
Sejarah mencatat bangsa ini telah mengalami beberapa kali kegagalan untuk membentuk Indonesia yang baik, bangsa yang berkarakter karena tidak adanya dialog kultural yang tuntas, hanya pada tataran eksekutif bangsa, sebagai landasan dari keputusan politik yang diambil untuk keteraturan secara nasional. Dalam hal ini terdapat tiga pengalaman yang dapat diambil pelajaran untuk membangun karakter Bangsa yang lebih baik, pertama; soal negara federal versus negara Kesatuan, kedua; soal negara Islam lawan negara sekuler, dan ketiga soal Tujuan Pendidikan Nasional, termasuk akhir-akhir ini banyak yang membicarakan tentang pendidikan karakter. Artinya jika issu pendidikan karakter ini ingin benar-benar menjadi konsensus bangsa, maka perlu adanya dialog kultural seluruh elemen bangsa secara tuntas.
Pengalaman pertama, persoalannya ialah apakah Indonesia setelah mencapai kemerdekaan sebaiknya mengadopsi bentuk negara federal atau negara kesatuan. Dalam kasus ini pandangan almarhum Bung Hatta bertentangan dengan pandangan almarhum Bung Karno. Ini sebetulnya merupakan permulaan dari usaha membangun kemampuan bangsa untuk melakukan dialog kultural. Masing-masing pihak mengemukakan segi positif dari sistem yang didukungnya. Sungguh sayang, bahwa dialog kultural ini tidak berlangsung sampai tuntas, karena Bung Karno kehilangan kesabaran berdialog, dan kemudian mempergunakan ketrampilannya dalam ber-retorika politik untuk menyapu bersih arguman Bung Hatta. Memang pada akhirnya mengadopsi bentuk negara kesatuan, tetapi perkembangan-perkembangan yang terjadi selanjutnya memperlihatkan kelemahan yang terdapat dalam sistem negara kesatuan ini. Diantaranya setelah dilaksanakannya sistem otonomi daerah secara cukup luas, timbul pertanyaan, apa sebenarnya perbedaan hakiki dari sistem negera kesatuan berotonomi daerah secara luas dengan sistem negara federal.
Pada pengalaman kedua, negara Islam versus negara sekuler, Bung Karno mengambil keputusan negara berdsarkan Pancasila. Keputusan ini ditaati, dan tetap berlaku sampai sekarang.Tetapi yang apa yang terjadi di masyarakat, tetap ada gejolah-gejolak halus yang mengisyaratkan adanya ketidakrelaan, bahwa negara dengan penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam tidak melaksanakan syariat Islam secara tegas. Bisa dilahat antara lain prakarsa untuk menciptakan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang akan membuat suasana Islami lebih terasa dalam masyarakat Indonesia. Lagi-lagi ketidaktuntasan dialog kultural membuat polemik di masyarakat. Masyarakat langsung diajak terjun dalam perdebatan politik dengan prasangka masing-masing tentang negara Islam, negara sekuler, masyarakat Islam, dan masyarakat sekuler.
Pengalaman ketiga –kasus tentang tujuan pendidikan nasional—persoalan intinya ialah apakah pendidikan di sekolah Indonesia harus mengutamakan pendidikan menuju ke “keimanan dan ketakwaan”, ataukah sebaiknya mengutamakan pendidikan menuju ke “kemampuan mengenali, memahami, dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa”. Artinya: Apakah tujuan pendidikan nasional sebaiknya dirumuskan dengan idiom ke-Islaman, ataukah dengan idion sekuler. Soal ini sebenarnya dapat di-dialog-kan secara kultural. Tetapi kita memilih untuk memperdebatkannya secara politik. Dan pada akhir perdebatan kita memilih rumusan yang bernuansa Islam, dan kita katakan, bahwa pendidikan nasional Indonesia mengutamakan pendidikan yang menuju ke keimanan dan ketakwaan, sehingga, menafikan karakter bangsa sesunggunya.
Persoalannya di sini, bukan hasil votingnya dari dialog politik tersebut, melainkan proses yang kita lalui sampai terjadinya voting. Bagimana yang terjadi adalah tipisnya keinginan dan sedikitnya kesempatan untuk mengkaji aspek-aspek kutural dari perdebatan ini. Perlu diingat pada pengalaman ini, fokus permasalahan bukan pada perbedaan hakiki antara “pendidikan dengan orientasi religieus” dengan “orientasi sekuler”. Ketika ditanya, misalnya, apakah ‘takwa’ sebagai konsep pedagogis sama dengan konsep “voluntary personal commitment to values”, maka tidak didapatkan jawaban yang memuaskan. Artinya yang paling penting bukan sekedar perbedaan antara “pendidikan religius” dengan “pendidikan sekuler”, melainkan konsekuensi dari pilihan yang dipilih. Kalau kemudian diputuskan untuk mengutamakan pendidikan yang menuju ke “keimanan dan ketakwaan”, bagaimana nantinya metode yang harus kita tempuh untuk melaksanakan pendidikan menuju yang bernuansa religus ini, dan bagaimanakan cara meng-evaluasi keberhasilan dalam pendidikan keimanan dan ketakwaan ini.
Berdasarkan pengalaman di atas, bahwa suatu persoalan bangsa yang diselesaikan hanya berdasarkan suatu keputusan politik yang tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap aspek-aspek kultural yang melekat pada persoalan tadi akan cepat kehilangan daya solutifnya. Dalam keadaan yang paling ideal pun penyelesaian seperti ini hanya akan merupakan suatu penyelesaian sementara, dan akan segera harus ditinjau kembali untuk mencegah munculnya manifestasi baru dalam bentuk yang tidak mudah terdeteksi. Jadi mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus memahami landasan kultural dari suatu persoalan bangsa untuk dapat “menjinakkannya”, sehingga keputusan yang diambil adalah bagian dari upaya memperkuat karakter bangsa. di sinilah optimalisasi peran madarasah dalam mencetak kader bangsa yang memiliki wawasan kultur yang dibingkai dalam ke-khasan spiritualitasnya.
Pada fase berikutnya, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana optimalisasi peran media dalam turut “mendewasakan dan menyadarkan” masyarakat akan pentingnya karakter bangsa. Media mepuyai kewjiban moral untuk menuntun masyarakat ke perilaku kolektif yang lebih dewasa, lebih bertanggungjawab dalam menghadapi situasi-situasi yang rawan. Pada akhirnya media harus menentukan bagi dirinya sendiri, sampai di mana dirinya akan melibatkan diri dalam gerakan untuk membangun Indonesia yang lebih baik, mandiri, dan berkarakter. Madrasahku… Mediaku.. & Masa Depan Bangsaku
MADRASAH DINIYAH DI ARAB DAN PENGARUHNYA DI INDONESIA
Cikal Bakal Madrasah Diniyah
Madrasah diniyah sebagai salah satu institusi islam, mulai eksis seiring dengan nafas perkembangan islam. Pada awal perkembangan islam madrasah diniyah belum tampak secara jelas, meski prakteknya telah dilakukan secara tidak langsung. Sebagai contoh, ketika Rasulullah masih di Mekkah para sahabat belajar tentang islam kepada beliau di rumah al Arqam bin Abi al Arqam. Pada saat Rasulullah berhijrah ke Madinah, teras mesjid Nabawi (shuffah) dijadikan sebagai tempat belajar ilmu-ilmu agama oleh Rasulullah dan sahabatnya. Sehingga sekitar 400 murid yang dimiliki Rasulullah waktu itu sering disebut sebagai ahlu al shuffah. Dengan demikian keberadaan shuffah menjadi tempat yang sangat vital, bahkan ketika Nabi Saw. telah meninggal dan dilanjutkan oleh sahabat-sahabat beliau.
Ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, untuk pertama kalinya dilakukan pemugaran masjid. Fungsi shuffah sebagai tempat transformasi pengetahuan menjadi semakin penting. Kodifikasi dan tashih al Qur’an dilakukan di sini, juga penyusunan ilmu nahwu yang dilaksanakan oleh Zaid bin Haritsah yang sekaligus sebagai ketua tim pengkodifikasian al Qur’an.
Shuffah masjid Nabawi hampir menyerupai lembaga madrasah ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dengan diterapkannya kegiatan belajar-mengajar di tempat ini. Dua bait sya’ir “alala tanalul al ‘ilm” yang dikarang oleh Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu buktinya. Sya’ir ini mampu mengerakkan umat islam untuk selalu giat belajar dan mendatangi ulama-ulama di berbagai daerah, seperti Madinah, Kuffah, dan Bashrah.
Meski demikian kota Madinah tetap memiliki peran sentral sebagai pusat studi islam, terutama hadits. Sehingga ketika term madrasah mulai muncul, Madinah lebih dikenal sebagai tempatahl al hadits atau sebagai pusat ahl hadits, dengan tokohnya antara lain, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ja’far, dan Ibnu Sirin.
\
Di masa Dinasti Umayah istilah madrasah sudah dikenal secara luas. Namun maknanya bukan sebagai sebuah institusi pendidikan, melainkan aliran pemahaman dan tradisi. Di bidang agama dikenal dua madrasah, yakni madrasah al hadits yang berpusat di madinah dan madrasah ahl al ra’y yang berpusat di Bashrah. Di bidang bahasa (madrasah al nuhat) terdapat tiga madrasah terkenal. Yaitu madrasah al Hijaz, madrasah al Kuffah, dan madrasah al Bashrah dengan ciri aliran dan pemikiran yang berbeda.
Babak Baru Pertumbuhan Madrasah Diniyah
Sekitar abad V Hijriyah atau IX/X Masehi institusi madrasah mulai didirikan dan dikembangkan, sejalan dengan perkembangan islam yang telah meluas dalam bentuk aliran atau mazhab dalam bidang fiqh, ilmu kalam atau tasawwuf, dan ilmu pengetahuan lain yang mencakup bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai ilmu lainnya. Aliran-aliran yang timbul sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan ini saling berebutan dan mencari pengaruh di kalangan umat islam, dan berusaha untuk mengembangkannya. Sehingga terbentuklah madrasah-madrasah pada masa itu yang dihubungkan dengan mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki, atau Hambali dalam bidang ilmu fiqh.
Sejarah mencatat, bahwa institusi madrasah yang pertama kali didirikan dalam sejarah islam ialah madrasah al Baihaqiyyah dan madrasah al Sa’idiyyah di Nisyapur yang didirikan oleh Sabaktikin saudara dari raja Mahmud pada abad ke-9 M. Keduanya berhaluan syi’ah dan lebih banyak meniru model pendidikan Persia bernama Miyan Dahiyyah, yang mengajarkan pendidikan agama, filsafat dan pengetahuan lainnya yang berkembang di Baghdad waktu itu.
Pada abad ke XI (1065 M/457 H) berdiri madrasah Nizamiyyah di Baghdad yang didirikan oleh Nidzam al Mulk, seorang penguasa dari Bani Saljuk (w. 485 H). Madrasah ini berhaluan sunni dan memiliki jaringan khusus dengan model pendidikan kuttab dan ribath yang berkembang di Hijaz (Haramain). Keberadaan madrasah ini telah merangsang kebangkitan keilmuan sunni sehingga mendorong pertumbuhan madrasah sebagai lembaga tipikal muslim secara mayoritas.
Di antara madrasah yang berdiri karena pengaruh madrasah Nidzamiyah adalah madrasah al Muntashiriyyah di Baghdad, al Azhar dan al Nasiriyyah di Kairo (Syi’ah Fathimiyah), madrasah Nuruddin Zanki dan al Nuriyyah al Kubra di Damaskus, serta madrasah Salahuddin al Ayyubi, madrasah al Jam’iyyah al Khairiyah, dan madrasah al Majzub di Beirut.
Di Makkah dan Madinah madrasah tetap berkembang dengan baik, meskipun sejauh ini belum ada data konkrit mengenai proses peralihan tradisi belajar mengajar masyarakat setempat dari kuttab, ribath, halaqah ke madrasah. Kesulitan ini karena secara politik kawasan Haramain ini jauh dari pusat pemerintahan islam. Selain itu, sejarah juga tidak mencatat adanya madrasah yang didirikan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Karena wilayah ini mendapat perlakuan khusus di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Adapun madrasah yang pertama kali didirikan di Haramain adalah Madrasah al ‘Urshufiyyah yang didirikan oleh ‘Afif ‘Abdullah Muhammad al ‘Ursfi pada tahun 571 H/175 M. Madrasah ini terletak di pintu umrah, bagian selatan masjid al Haramain dan mempunyai sebuah ribath yang disebut ribath Abi Ruqaibah atau Abi Quthaibah.
Perkembangan Madrasah Diniyah di Haramain
Selama Haramain di bawah pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, campur tangan mereka terhadap haramain tidak begitu tampak, karena haramain dipertahankan sebagai daerah istimewa. Hanya saja ketika dinasti Abbasiyah runtuh dan digantikan oleh penguasa Mamluk dari Mesir, perubahan terjadi di daratan Haramain, termasuk para penguasa dipilih dari kalangan mereka. Berbagai upaya dilakukan untuk menaikkan pamor kota suci ini. Di antaranya dengan membangun madrasah yang diprakarsai dan didanai oleh pemerintah. Dengan madrasah pertamanya adalah madrasah al ‘Urshufiyyah pada abad ke-12 M. di pinggiran kota Mekkah. Di Madinah sendiri, institusi madrasah belum didirikan sampai abad ke-15 M. Pendidikan yang diselenggarakan di Madinah adalah Kuttab, Ribath dan halaqah.
Di kota Mekkah madrasah diniyah dapat berkembang dengan baik. Tercatat samapi akhir abad ke-17 M. terdapat sekitar Sembilan madrasah diniyah. Dimulai sejak Ajlan Abu Syari’ah diangkat sebagai gubernur Hijaz, dan ia berhasil madrasah al Syarif al Ajlan. Pada masa Dinasti Mamluk Mesir, Sultan Ghiyats al Din (Sultan Qayt Bey) mendirikan madrasah Qayt Bey. Madrasah ini terletak di sebelah timur masjid al Haram menempati lokasi bangunan Ribath al Maraghi dan Ribath al Sidrah yang terlebih dahulu dibongkar. Madrasah ini mempunyai ruangan yang tergolong lengkap, dari ruangan kelas hingga perpustakaan. Namun semua itu akhirnya di jual dan dijadikan asrama haji Mesir, meski kemudian dikembalikan fungsinya oleh Hasyib Pasya pada pertengahan abad ke-19.
Selain itu, sultan Ghiyats juga mendirikan satu madrasah di Madinah yang terletak di Bab al Salam Masjid Nabawi, yang dikenal dengan nama A’zham Syah sebagai institusi madrasah pertama di wilayah ini. Para penguasa Mamluk menindaklanjuti hal ini dengan mendirikan madarasah Jaubaniyyah di antara wilayahDar al Syibak dan al Husn al ‘Atiq.
Penguasa Mamluk terus melakukan restrukturisasi pendidikan islam di Madinah dan agar mudah diterima oleh ulama setempat mereka menggunakan madrasah as Syafi’iyyah pada setiap madarasah yang didirikannya. Langkah ini ternyata efektif, sehingga di Madinah bermunculan banyak madrasah. Seperti madrasah al Basithiyah oleh Zayni ‘Abd al Bashith, al Zamaniyah oleh Syam al Din al Aman, al Anjariyah, al Syahabiyah dan al Mazariyah yang didirikan oleh Zayni Katib. Di samping itu, sebagai pengganti Mamluk, Dinasti Turki Usmani juga mendirikan satu madrasah yakni al Hamdiyah.
Secara umum, pada era pertumbuhan dan perkembangan madrasah (abad X-XVI) madrasah diniyah di Haramain tidak ada yang memiliki pengaruh luas seperti madrasah Nidhamiyah di Baghdad atau al Azhar di Mesir. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain:
Pertama, faktor lingkungan sosial politik. Munculnya banyak kekuasaan islam yang saling bertikai dan membesarkan pusat kota kekuasaan mereka, menyebabkan daratan Hijaj yang penuh gersang tidak terurus secara baik, begitu pula dengan Haramain.
Terlebih lagi, ketika Hijaj harus berhadapan dengan Syi’ah Qarmathiyah yang cenderung bersifat kasar dan tidak toleran. Hal ini menimbulkan dampak negatif substansial bagi masyarakat Sunni Haramain, baik dari sisi ekonomi maupun pendidikan. Menurut al Syaiba’I, selama kekacauan ini semua pasar Mekah nyaris tutup. Demikian pula dengan kegiatan pendidikan. Selain antusiasme masyarakat menurun, kegiatan pendidikan juga semakin terbatas pada masjid al Haram Mekah dan masjid al Nabawi di Madinah. Pada masa-masa krisis ini, banyak tokoh dan cendikiawan Hijaj memilih merantau untuk belajar maupun mengembangkan ilmunya di daerah lain.
Kedua, faktor pengelolaan madrasah yang banyak bergantung kepada pemerintah dan patronase penguasa dengan dermawan non-Hijaji. Selain itu, madrasah Haramain sangat tergantung pada wakaf yang diberikan oleh mereka, sehingga dari segi keuangan madrasah-madrasah ini cenderung rapuh.
Di samping itu, karena didirikan ileh pemerintah Islam banyak madrasah yang dialih fungsikan untuk kepentingan maupun untuk mensukseskan kebutuhan pemerintah yang bersangkutan.
Ketiga, gejala ortodoksi masyarakat Haramain yang menyebabkan kurang terbukanya peran dan fungsi madrasah. Hal ini tampak pada perkembangan madrasah yang nyaris tak menyentuh masjid al Haram dan masjid al Nabawi. Secara umum, pendidikan halaqah dan madrasah di Haramain tidak terbangun secara sinergis, dan penerimaan ulama Haramain kurang menerima terhadap pengeloalaan madrasah seperti di Mesir dan Baghdad. Sehingga pendidikan di Haramain hanya berfungsi sebagai:
a. Transfer ilmu dan sejarah Islam,
b. Pemeliharaan tradisi islam, dan
c. Reprroduksi ulama.
Madrasah Arab yang Paling Berpengaruh di Indonesia
Permulaan interaksi antara Indonesia dengan Arab dilalui dari tradisi halaqah yang diikuti oleh para haji asal Indonesia ketika melaksankan ibadah haji. Mereka membawa kitab kuning sebagai oleh-oleh haji. Hal ini cukup beralasan sejak abad ke-14 sampai abad ke-18 tidak diperoleh catatan seputar ulama Indonesia yang lama mukm di Mekah terkecuali pada musim haji.
Pada abad ke-18 orang-orang Indonesia mulai bermukim lama di Mekah untuk belajar, seperti Syekh Arsad al Banjari, Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Rifa’i Kalisasak, Syekh Mahfudz al Tarmisi, dll. Banyaknya orang Indonesia yang bermukim di Mekah melahirkan satu perkampungan yang disebut dengan Kampung Jawi/Jawah. Pada umumnya mereka belajar ilmu tasawuf, fikih dan tafsir pada halaqah yang dipimpin oleh Syekh di sekitar Mekah.
Pada abad ke-19 M orang-orang Indonesia baru ada yang tercatat belajar di madrasah Jazirah Arab. Umumnya berasal dari Sumatera, Sulawesi, dan sedikit para pelajar dari Jawa, yang belajar di Madrasah Darul Ulum Mesir, dan Madrasah Shaulatiyah, Madrasah al Falah, serta Madrasah Nasyr al Ma’arif al Diniyah di Makkah .
Madrasah Darul Ulum merupakan reinkarnasi Madrasah Fathimiyah yang tumbuh kembali setelah adanya pengaruh westernisasi dengan salah satu tokohnya Muhammad Khudari Beik. Di antara orang Indonesia yang belajar di sini adalah Zainuddin Labay el-Yunusi dan Syeikh Janan Muhammad Thaib.
Adapun Madrasah Shaulatiyah (1867) di Makkah adalah madrasah tradisional di abad ke-20 yang banyak beraviliasi dengan Madrasah Darul Ulum di Deoband, India. Didirikan oleh Shaulah an Nisa dan dipimpin oleh ulama India militant dan dihormati, Rahmatullah bin Khalil al Utsmani. Pada awal abad ke-20 banyak orang Islam Indonesia yang belajar di madrasah ini. Di antaranya adalah Sayyid Muhsin al-Musawwa al-Palimbani. Ada juga pelajar Indonesia di Madrasah al-Falah Makkah seperti KH. Muhammad As’ad al-Bugisi.
Masyarakat Indonesia yang belajar ini kemudian membuat sebuah komunitas sendiri yang banyak bersentuhan dengan literatur-literatur Arab modern berbeda dengan halaqah-halaqah yang khazanah keilmuannya lebih bersifat tradisional.
Madrasah diniyah yang didirikan oleh orang Indonesia adalah: (1) Madrasah Indonesiya al-Malakkiyah oleh Syekh Janan Muhammad Thaib (1923), (2) Madrasah Darul Ulum al-Diniyyah oleh Sayyid Muhsin al-Musawwa al-Palimbani (1934) sebagai respon atas terjadinya konflik antara siswa dan pengajar yang berasal dari etnis melayu dengan Arab. Martin Van Brinessen menyatakan bahwa pengajar Arab tidak suka dengan siswa dan pengajar melayu yang sering berkomunikasi dengan bahasa melayu.
Selain itu, keadaan konstalasi politik Haramain juga manjadi salah satu pemicu kalangan tradisional Indonesia berinisiatif mendirikan madrasah. Di mana pada tahun 1923 di Haramain terjadi peperangan saudara antara Sultan Abd Syarif Husein dengan kelompok Najd yang dipimpin oleh Abd al-Aziz bin Abd al-Rahman dan dimenangkan oleh kelompok Najd.
Berikutnya adalah madrasah al-Alawiyah al-Makkiyah di kawasan Rosaifa yang didirikan oleh sayyid al-Alawi al-Makki. Juga Madrasah al-Tahzibiyah yang berdiri di Hamah al-Muhammadiyyah. Ulama yang berpengaruh di madrasah ini adalah Muhammad al-Said bin Sa’ad bin Nubhan al-Hidrami. Madrasah-madrasah yang berdiri pada abad ke-18 dan ke-19 ini tidak memiliki keterkaitan dengan madrasah Nizamiyah di Baghdad. Sebaliknya madrasah-madrasah ini umumnya merupakan madrasah tradisional yang hanya mengajarkan pengetahuan agama.
- http://selatanciamis.blogspot.com/2009/12/madrasah-di-indonesia-dan-madrasah-bagi.html
- http://www.sunangunungdjati.com/blog/?p=1271
- http://rohmanmagzdub.blogspot.com/2010/05/kontribusi-madrasah-dalam-pendidikan-di.html
- http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/26321/Kolom/Mempertegas_Peran_Madrasah_Sebagai_Pelopor_Gerakan_Indonesia_yang_Berkarakter.html
- http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2011/03/madrasah-diniyah-di-arab-dan.html
- https://marifudin.wordpress.com/2011/06/18/sejarah-madrasah-di-indonesia/