Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SEJARAH MUNCULNYA MADRASAH DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNNYA

SEJARAH MUNCULNYA MADRASAH DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNNYA

Sejarah Madrasah
Madrasah adlah saksi perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk semua warga.Sejarah mencatat , Madrasah pertama kali berdiri di Sumatram, Madrasah Adabiyah ( 1908, dimotori Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah  Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah schoel, Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). lalu, Madrasah Nurul Uman didirikan H.  Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di jawa mulai 1912. ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin  Ulya ( mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan  belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model AL-Irsyad ( 1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus, atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah singkat tentang sejarah madrasah di indonesia.

Dari jaman penjajahan, orde lama, orde baru, era repormasi sampai era sby, nasib madrasah di indonesia sangatlah memperihatinkan dan seolah-olah di anaktirikan oleh pemerintah, padahal ada banyak sekali elit politik yang duduk di kursi DPR, MPR, ISTANA dan lembaga kebijakan negara lainnya yang lahir dan berlatar belakang dari madrasah, lulusan madrasah tidak bisa di pandang sebelah mata atau juga di anggap remeh, justru lulusan-lulusan madrasah memiliki nilai lebih bukan saja karen faktor agama yang diperdalam tapi banyak faktor lainnya.

Masa Depan Madrasah
saat ini, di Indonesia terdapat 38 ribu madrasah , setiap tahunnya, madrasah meluluskan dua ratus ribu siswa, tapi tak 10 % nya melanjutkan kuliah karena keterbatasan dana, hanya sekitar 20 % yang gurunya PNS, sementara yang NON-PNS tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah, apakah 5,5 juta siswa madrasah dan 456.281 guru madrasah ini bukan warga negara indonesia sehingga mendapat perlakuan yang berbeda?

Sejarah Perkembangan Madrasah di Indonesia
Tahun 1994 bisa jadi merupakan satu periode penting dalam perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun tersebut, Departemen Agama telah menetapkan berlakunya kurikulum baru -yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994- yang mensyaratkan pelaksanaan sepenuhnya kurikulum sekolah-sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berbeda dengan dengan kurikulum sebelumnya pada 1975, di mana madrasah memberikan 70 % mata pelajaran umum dan 30 % mata pelajaran agama Islam, maka pada kurikulum 1994 madrasah diwajibkan menyelenggarakan sepenuhnya (100 %) mata pelajaran umum sebagaimana diberikan di sekolah-sekolah umum di bawah Depdikbud.

Pemberlakuan kurikulum ini tentu saja membawa implikasi dan konsekuensi penting. Hal paling menonjol untuk dicatat adalah bahwa ia mensyaratkan penghapusan 30 % mata pelajaran agama Islam di madrasah, lembaga pendidikan yang selama ini telah dinilai membawa simbol Islam. Maka pertanyaan di sekitar eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam segera muncul. Bila madrasah, sebagai pusat lahirnya para pemimpin muslim, tidak lagi secara resmi memberikan mata pelajaran agama Islam, apa yang akan terjadi dengan Islam di Indonesia masa mendatang? Di sini jelas bahwa persoalan kurikulum madrasah secara langsung berhubungan dengan perkembangan Islam secara umum.

Kita lupakan sejenak pertanyaan-pertanyaan di atas. Hal terpenting untuk ditekankan di sini adalah dalam beberapa hal tertentu, pemberlakuan kurikulum di atas memang sangat mengingatkan kita pada pendapat Karel A. Steinbrink, seorang sarjana yang telah melakukan kajian tentang sistem pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini dia berpendapat bahwa madrasah, yang diharapkan menjadi perwujudan sintesa antara pesantren tradisional dengan sekolah umum tidak bisa berjalan dengan baik. Dia menulis seperti berikut ini:

“Kita masih tetap melihat adanya kecenderungan bagi studi agama dalam arti terbatas hanya pada lembaga pendidikan seperti pesantren dahulu, untuk mendidik fungsionaris agama. Hal ini disebabkan para murid yang datang ke pesantren hanya untuk mempelajari agama saja. Semua perkembangan ini menunjukkan bahwa konsep konvergensi sebagai banyak disinggung di muka tidak dapat diwujudkan. Sintesa tersebut ternyata lemah. Ia mungkin hanya berfungsi sebagai model peralihan dan bukan sebagai alat penghubungan yang permanen antara pesantren dan sekolah umum.. menurut kriteria pengetahuan agama yang mendalam, madrasah tidak merupakan satu alternatif yang memuaskan. Pengetahuan umum yang diberikan di sana juga tidak memeneuhi syarat yang diminta yaitu madrasah tidak bisa dianggap sebagai “produk final”, akan tetapi hanya sebagai bentuk sementara saja.”

Mengikuti argumen Steinbrink, pemberlakuan kurikulum 1994 di atas memang bisa dengan mudah dipahami. Penghapusan 30 % mata pelajaran Islam bisa dilihat sebagai bentuk kegagalan madrasah mempertahankan identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang berusaha memadukan pendidikan ilmu-lmu Islam dan ilmu-ilmu modern. Steenbrink, setidaknya dari kutipan di atas, memang cenderung berkesimpulan bahwa dualisme pendidikan –tradisional dan modern- merupakan ciri menonjol dan permanen. Dunia pesantren akan terus bertahan dengan sistem pendidikan tradisional-keagamaannya dan sekolah umum akan terus bergerak menjadi lembaga pendidikan modern yang terlepas dari unsur formal keagamaan ; sementara madrasah akan kehilangan signifikansinya dalam masyarakat Indonesia.

Namun apakah persoalannya memang sesederhana itu ? Tanpa harus menolak sepenuhnya argumen Steinbrink, bila diamati lebih jauh memang ada satu hal penting yang tampaknya luput dari perhatian. Hal tersebut berhubungan terutama dengan perkembangan pola keberagamaan muslim Indonesia belakangan ini yang semakin berusaha melepaskan diri dari simbol-simbol Islam, termasuk di bidang pendidikan. Sehingga –meski sedikit mendahului argumen- bisa dikatakan di sini bahwa kurikulum baru madrasah merupakan ungkapan dari kecenderungan baru Islam Indonesia yang lebih menekankan substansi keagamaan, bukan unsur formal seperti terdapat di antaranya dalam mata pelajaran Islam di madrasah. Bila demikian halnya, perkembangan madrasah tidak bisa dipahami terbatas pada eksistensinya sebagai lembaga pendidikan semata. Ia seharusnya ditempatkan dalam dinamika perkembangan Islam di Indonesia.

Dalam salah satu artikel pentingnya, A. H. Johns mencatat bahwa ‘madrasah’ -tentu saja dalam pengertian lembaga pendidikan secara umum- merupakan salah satu bukti penting dari kehadiran Islam di dunia Melayu-Nusantara.[2] Dalam hal ini Johns berpendapat bahwa kompleksitas proses islamisasi di wilayah tersebut hendaknya dijelaskan dengan mempertimbangkan kehadiran Islam sebagai sebuah tradisi intelektual, di mana ‘madrasah’ menempati posisi sangat penting. Dari lembaga pendidikan inilah wajah Islam sebagai agama-bukan semata-mata sebagai kekuatan ekonomi dan politik- bisa diperoleh; bahwa dari lembaga inilah karya-karya para ulama tentang Islam, sebagai wujud konseptualisasi Islam dalam budaya Melayu-Nusantara dalam arti sesungguhnya.

Pandangan Johns di atas secara spesifik mengacu pada proses islamisasi di Melayu-Nusantara. Ia berusaha memberikan perspektif baru dalam memahami perkembangan Islam awal yang lebih bernuansa keagamaan ketimbang nuansa ekonomi dan politik.[4] Dalam kaitan ini, hal penting yang perlu ditekankan adalah bahwa lembaga pendidikan tampak memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perkembangan Islam di dunia Melayu-Nusantara. Kehadiran lembaga pendidikan menjadi salah satu ciri utama dari suatu tahap penting perkembangan Islam. Dan hal tersebut memang bisa dilihat dalam perkembangan Islam kemudian. Kebangkitan tradisi intelektual Islam di abad ke-17, khususnya yang berbasis di kerajaan Aceh, berlangsung sejalan dengan berdirinya berbagai lembaga pendidikan Islam di lingkungan kerajaan.[5] Data-data sejarah yang ada memberitakan bahwa pada saat itu telah berdiri lembaga pendidikan Islam yang berperan penting dalam proses islamisasi masyarakat secara lebih intensif.

Eksistensi Madrasah dalam Sejarah (Review)
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri Muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam (Mekkah). Islam pun baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh. Namun, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kondisi ini oleh beberapa ahli dianggap sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan agama Islam di Indonesia. Termasuk di antaranya adalah madrasah. Ironisnya, sejak zaman penjajahan sampai saat ini posisi madrasah selalu berada dalam posisi marginal. Meskipun saat ini pemerintah mulai memperhatikan eksistensi madrasah melalui UU No. 20 Tahun 2003, namun “penganaktirian” terhadap madrasah tetap saja terjadi. Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya aliran dana pemerintah ke madrasah. Juga masih minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan dan masa depan guru

Meskipun demikian, stakeholders madrasah tidak pernah putus asa. Hal ini dapat terlihat dari eksistensi madrasah yang sejak dulu sampai sekarang masih tetap menunjukkan reliabilitasnya. Madrasah senantiasa terus dibangun dan dikembangkan untuk mencapai martabatnya yang senantiasa berkembang, karena eksistensi madrasah dalam menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi pada setiap perkembangan peradaban manusia. Sudah bukan saatnya lagi madrasah terlambat menjawab tantangan zaman, dan tertinggal dalam pengembangan peradaban manusianya.

Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Eksistensi Madrasah di Era Global
Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah merupakan isim makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna tempat orang belajar. Dari akar kata tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.
Menurut sejarahnya, madrasah sebagai lembaga pendidikan tidaklah berasal dari ruang hampa, tetapi kemunculannya merupakan “sambungan” dari sejarah-sejarah awal munculnya Islam yang benih-benihnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yakni dengan adanya kuttab, , halaqah, suffah atau al zilla. Namun demikian, istilah madrasah muncul pertama kali ketika Nidhamul Mulk dari Bani Saljuk mendirikan Madrasah Nidhamiyah pada tahun 1064 M. Dengan munculnya madrasah nidzamiyah tersebut kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lain.

Namun demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa madrasah nidzamiyyah ini hanyalah kemunculan istilah madrasah dalam sejarah pendidikan Islam lebih menunjukkan pengakuan secara resmi (legalitas) dari pemerintahan Islam sebagai penguasa. Pengakuan tersebut disertai dengan mendirikan madrasah  sebagai lembaga pendidikan resmi (state institutions). Jika ditelusuri sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan islam, nama madrasah itu sendiri munculnya agak belakangan. Ada beberapa tempat yang diduga lebih dulu digunakan masyarakat Islam di Nusantara, diantaranya masjid yang berfungsi ganda sebagai tempat ibadah, dan aktivitas sosial keagamaan lain, termasuk di dalamnya aktivitas pendidikan.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda bila dibandingkan dengan  pesantren. Ia lahir pada abad ke-20 dengan munculnya Madrasah Manba’ul ‘Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan sekolah Adabiyyah yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. madrasah ini berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karel Steenbrink, meliputi tiga hal, yaitu:

Usaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan pesantren,
Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dengan sistem pendidikan Barat. Meskipun usaha pembaharuan sudah diupayakan, namun permasalahan di dalam tubuh madrasah bukannya semakin ringan dan sedikit. Hal ini bisa dilihat pada model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara yang memunculkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Dualisme ini telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikotomi keilmuan ini justeru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.

Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana dan prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan madrasah sebagai “sapi perah”, madrasah memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya, yaitu menjadi salah satu tumpukan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi.

Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai dimana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audiovisual, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama ini melekat pada pesantren sedikit demi sedikit juga semakin terkikis.

Satu lagi yang menarik dari madrasah adalah pengembangan madrasah tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga dengan peningkatan kualitas yang cukup signifikan. Manajemen profesional telah menjadi andalan. Pembagian kewenangan antara spritualis (kyai) dan manajer administratif mendukung terciptanya suasana kerja yang harmonis. Keberadaan madrasah di pusat-pusat kota juga banyak yang tampil dengan inovasi baru. Hal ini bukan saja telah membuat masyarakat tidak alergi lagi dengan menyebut nama madrasah, tetapi juga dapat diartikan sebagai naiknya prestise madrasah.

Keyword : Madrasah, sejarah, pertumbuhan, perkembangan madrasah sebagai institusi pendidikan atau tempat belajar yang disebut dengan nama Kuttab sudah ada pada masa Nabi Muhammad SAW. dan sudah berjalan terutama di seputar masjid, sufah dan rumah. Sedangkan madrasah sebagai institusi pendidikan formal sebagaimana yang kita kenal sekarang ini mulai ada pada tahun 1066-7 M, yaitu madrasah Niz}amiyah yang didirikan oleh Niz}am al-Mulk, perdana menteri Dinasti Saljuk.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia dapat di bagi kepada tiga fase, yaitu: pertama, sejak mulai tumbuhnya pendidikan Islam sejak awal masuknya Islam ke Indonesia sampai munculnya zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, kedua, sejak masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, dan ketiga, sejak diundangkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 Tahun 1989 dan dilanjutkan dengan UU No. 20 tahun 2003).

Menelusuri makna madrasah secara harfiah
Kata madrasah berasal dari bahasa Arab yang  merupakan isim makan dari darasa-yadrisu. Secara harfiah, kata ini berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia, “sekolah”. Madrasah mengandung arti tempat, wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya, di madrasah itulah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madarasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Di lembaga ini anak memperoleh hal-ihwal atau seluk beluk agama dan keagamaan. Sehingga dalam pemakaiannya kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama. Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama, setelah mengaarungi perjalanan peradaban bangsa diakui telah mengalami perubahan-perubahan walaupun tidak melepaskan diri dari makana asal sesuai dengan ikatan budaya Islam.

Sejarah Munculnya Madrasah di Indonesia
Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya memiliki latarbelakang, di antaranya:
Sebagai manifestasi dari realisasi pembahuruan sistem pendidikan Islam.
Usaha penyempurnaan terhadap sstem pesantren ke arah suatu sistem pedidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.
  1. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka.
  2. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan dari hasil akulturasi.

Pada mulanya, pendidikan Islam dilaksanakan di surau-surau dengan tidak menggunakan sistem klasikal dan tidak pula menggunakan bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja. Kemudian mulailah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula menggunakan sistem klasikal dan memakai bangku, meja dan papan tulis ialah Sekolah Adabiyah (Adabiyah School) di Padang.yang didirikan Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Dan inilah madrasah (Sekolah Agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia, karena menurut penyelidikan tidak ada madrasah yang lebih dulu didirikan dari Sekolah Adabiyah itu. Dan madrasah Adabiyah tersebut berkembang sampai tahun 1914. Akan tetapi kemudian diubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915. Dan inilah HIS yang pertama di Minangkabau yang memasukkan pelajaran Agama dalam rencana pembelajarannya.

Gagasan awal dalam proses moderisasi pendidikan Islam  sebagaimana diungkapkan Husni Rahim setidaknya ditandai oleh dua kecendrungan organisasi-organisasi Islam dalam mewujudkannya yaitu:
Pertama, mengadopsi sistem pendidikan dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara menyeluruh. Usaha ini melahirkan sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran Islam.

Kedua, munculnya madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, namun tetap menggunakan madrasah dan lembaga tradisional pendidikan Islam sebagai basis utamanya.

Perkembangan Madrasah di Indonesia
Madrasah pada masa Penjajahan
Pada masa penjajahan, pendidikan Islam dipandang sebelah mata oleh pihak pemerintahan  kolonial Belanda, karena mereka merasa tidak perlu dan tidak ada gunanya untuk melakukan sesuatu, karena pendidikan Islam dianggap sebagai pendidikan moral keagamaan yang mengagungkan rasa intuitif yang memberikan sumber semangat perjuangan bagi rakyat.
Adapun madrasah yang lahir pada masa ini: Madrasah Tawalib oleh Syaikh Abdul karim Amrullahdi Padang Panjang); Madrasah Nurul Iman oleh H. Abd Somad di Jambi, Madrasah Saadah al-Darain oleh H. Achmad Syakur; Saadah Adabiyah oleh Tengku Daud Beureueh. Hal serupa juga di Sumatera Timur, tapanulli, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan lain-lain.

Madrasah pada Awal Masa Kemerdekaan
Di awal kemerdekaan, tidak dengan sendirinya madrasah dimasukkan kedalam system pendidikan nasional. Madrasah memang tetap hidup, tetapi tidak memperoleh bantuan sepenuhnya dari pemerintahan. Adanya perhatian pemerintah baru diwujudkan denagan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950, yang sebelumnya telah dikeluarkan peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, No. 7 Tahun 1952, No. 2 Tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada madrasah. Ditinjau dari segi jenis madrasah berdasarkan kurikulum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: Madrasah Diniyah, Madrasah SKB 3 Mentri dan Madrasah Pesantren. Madrasah Diniyah adalah suatu bentuk madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (diniyah).

Refrensi Buku
  1. A Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Moderenitas, (Bandung: Mizan, 1998), h.18-19.
  2. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 163.
  3. HIS: Hollandsche Indische Schoel atau Sekolah Belanda Boemi Poetra.
  4. Muhammad Kholid Fathoni, Pedidikan Islam dan Pendidikan Nasional:Paradigma Baru. (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 61.
  5. Abdul Rchman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi dan Aksi,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)
  6. H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.95.


Internet Akses
  1. http://selatanciamis.blogspot.com/2009/12/madrasah-di-indonesia-dan-madrasah-bagi.html
  2. http://forsanimandumai.blogspot.com/2011/04/sejarah-perkembangan-madrasah-di.html
  3. http://www.elfilany.com/2010/11/eksistensi-madrasah-dalam-sejarah.html
  4. http://digilib.iai-tribakti.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=kiuntbk-gdl-nurahid-5802&q=Madrasah
  5. http://nestyanokamikaze.wordpress.com/2011/04/22/20/
  6. https://amirsunankalijogo.wordpress.com/2011/06/18/sejarah-madrasah-di-indonesia/