Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Solusi Pelajar(an) Selama Pandemi

Pelajar(an) Selama Pandemi

Pelajar(an) Selama Pandemi
Zudan Rosyidi - detikNews

Jakarta - 
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pembelajaran online yang diselenggarakan sekolah dan guru selama wabah Covid-19. Pelajaran ini menjadi catatan penting bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang telah mencanangkan pendidikan 4.0.

Hasil reportase media massa menyajikan fakta bahwa masyarakat pendidikan Indonesia belum siap sepenuhnya untuk menerapkan model pembelajaran online. Ketidaksiapan ini mengerucut pada dua problem mendasar, yaitu akses teknologi digital dan kurikulum pendidikan untuk dilaksanakan secara online.

Selama tiga pekan pelaksanaan model pembelajaran ini tampak problem mendasar. Tidak semua pelajar memiliki akses gadget yang sama sehingga muncul digital divide di antara mereka. Aktivitas belajar yang bertumpu pada pelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan berujung pada menurunnya motivasi mereka karena metode, media, hingga bentuk evaluasi pembelajaran masih terjebak dengan frame pendidikan di kelas.

Partisipasi orangtua sebagai pengganti guru selama pembelajaran di rumah sangat tergantung dengan kemampuan dan kompetensi serta ritme aktivitas kerja.
Lingkungan Telah Berubah

Dalam bukunya The One World Schoolhouse, Salman Khan (2013) mengupas pengalamannya dalam menyelenggarakan proses pembelajaran melalui mediasi video-video yang di-share di kanal Youtube Khan Akademi. Platform pendidikan ini telah ditonton 140 juta kali pada ada medio 2012 dan diklaim telah berhasil mengedukasi enam juta pembelajar dalam satu bulannya.

Platform pendidikan yang dikembangkan Salman Khan mendasarkan pada asumsi bahwa lingkungan belajar telah berubah. Masyarakat telah memasuki zaman informasi dengan piranti teknologi digital sebagai media dan sekaligus memediasi aktivitasnya. Beragam bentuk aktivitas masyarakat mulai dari aktivitas sosial, politik, ekonomi, budaya hingga layanan pemerintahan muncul seiring dengan penggunaan platform digital.

Dalam beberapa kajian akademis, aktivisme masyarakat berbasis media digital pada hakikatnya telah mengantarkan masyarakat pada fase kewarganegaraan baru yang disebut dengan digital citizenship (Kligler-Vilenchik, 2017)

Kultur ini seperti yang diutarakan oleh Jenkins (2008) tidak lagi menonjolkan aspek superioritas individu, namun lebih menekankan keterkaitan satu sama lain dalam menciptakan sebuah produk ataupun pengetahuan. Mereka berbagi pengetahuan dan informasi di antara sesama yang dengan itu masing-masing individu dapat memodifikasi, mengkreasi ulang hingga menciptakan pengetahuan baru yang kemudian mereka share lagi di dunia maya.

Perubahan landscape sosial ini seharusnya menjadi dasar untuk perubahan kurikulum pendidikan. Pemangku kebijakan pendidikan harus menjadikan perubahan ini sebagai bahan untuk menyusun ulang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk dapat survive dengan lingkungan yang berubah.

Harus diakui sistem pendidikan yang berkembang masih mengikuti konsep yang dibangun tidak lama setelah bergulir revolusi industri. Karakteristik pendidikan ini menekankan pada output pelajar yang cakap untuk memahami dan mengikuti instruksi. Materi disampaikan secara terpisah dalam beragam mata pelajaran meskipun sebenarnya memiliki keterkaitan dengan materi lain di mata pelajaran yang berbeda.

Kompetensi ini semakin tidak dibutuhkan seiring dengan perkembangan masyarakat yang beraktivitas dengan mendasarkan pada platform digital. Mereka lebih membutuhkan kemampuan analitis, kreativitas, dan sinergi.

Dalam pandangan Salman Khan, seiring dengan penciptaan ruang digital, tidak ada lagi ada tembok kokoh yang menjadi panopticon bagi pelajar dalam belajar. Tidak ada lagi yang mengawasi, mengatur, membatasi, hingga memberikan hukuman kepada pelajar. Waktu belajar pelajar menjadi lebih fleksibel, aktivitas yang tidak monoton, tidak ada rasa malu ketika pelajar tidak mampu dengan cepat mencerna materi menjadi variabel kecil yang diperhatikan namun memiliki kebermanfaatan tinggi.

Mereka bisa me-manage tempo pembelajarannya hingga mengulang satu materi yang dianggap belum dikuasai karena arsip-arsip video itu tersimpan dalam ruang digital. Kemampuan analisis dan kreatif ini harus ada pada setiap diri individu pembelajar dengan memberikan peta jalan dan kebebasan dalam belajar.

Mereka yang identik dengan generasi rebahan dapat menjadikan tempat tidur atau sofa ruang belajar. Sambil rebahan mereka belajar yang di dalamnya diselingi dengan aktivitas lain seperti makan dan minum serta jendela online lainnya yang dijalankan secara bersamaan.

Kondisi yang dibayangkan oleh Salman Khan ini tidak muncul pada setting pendidikan online saat ini. Di beberapa kasus, sekolah dan guru dengan bantuan aplikasi Zoom Meeting meminta pelajarnya untuk stand by pada jam tertentu untuk penyampaian pelajaran tertentu. Penciptaan lingkungan belajar ini tidak ubahnya seperti memindah kelas dalam ruang maya. Tidak ada dampak apapun ke pelajar karena semuanya sudah dijelaskan dalam buku atau sumber belajar lainnya yang banyak dijumpai di internet.

Di satu akun media sosial, seorang teman menceritakan betapa hectic dirinya dengan pembatasan waktu dan serial kegiatan yang harus dilakukan selama mendampingi pembelajaran online ketiga anaknya dengan aturan yang hampir sama. Dia bukan saja seorang ibu rumah tangga, namun juga seorang perempuan karier yang memiliki pekerjaan.
Fitrah Teknologi Digital

Penggunaan platform digital selama proses pembelajaran di rumah selama pandemi Covid-19 masih menempatkan keberadaan teknologi informasi digital sebagai media komunikasi. Sekolah hanya memanfaatkan teknologi ini untuk memastikan materi yang harus diberikan sampai pada pelajar dan bagaimana hasil belajar di rumah dapat dilihat oleh guru untuk dijadikan sebagai alat ukur keberhasilan pembelajaran.

Belum pada upaya penciptaan lingkungan belajar yang mengikuti fitrah teknologi digital yang dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat telah mampu merevolusi pola lama yang berkembang di masyarakat. Setidaknya kondisi ini dapat dipelajari dari revolusi di bidang transportasi dengan kehadiran entitas bisnis seperti Go-Jek dan Grab.
Dengan jasa layanan transportasi, masyarakat dapat mencapai satu titik tujuan secara efektif dan efisien yang kemudian berkembang dengan cepat pada bidang-bidang jasa lainnya.

Penekanan pada fungsi komunikasi semata dipastikan tidak banyak memberikan dampak positif bagi peserta didik. Alih-alih memberikan perspektif baru dalam proses belajar mengajar, justru yang terjadi tidak lebih transformasi ruang kelas nyata ke dunia maya. Guru hanya menjadi menjadikan media teknologi digital sebatas media pembelajaran saja. Semua tetap sama. Mulai dari materi, tugas, interaksi, hingga evaluasi masih menggunakan model konvensional. Hanya media dan model interaksi saja yang berubah.

Pada akhirnya pembelajaran online yang berjalan hanya menciptakan pengeluaran ekonomi lebih ketika lembaga pendidikan tetap menggunakan metode pembelajaran konvensional. Karena pada hakikatnya teknologi diciptakan untuk memediasi proses komunikasi.

Tidak mengherankan jika muncul keluhan dari pelajar terkait dengan dana yang dikeluarkan untuk membeli paket data. Jika masing-masing materi menggunakan model pembelajaran yang sama, maka dalam satu minggu sudah dapat dihitung berapa jumlah pengeluaran yang harus ditanggung oleh masyarakat dan sekolah. Belum lagi jika tugas yang diberikan guru harus dikirim dalam bentuk video.

Catatan penting lainnya adalah tidak semua pelajar memiliki akses teknologi media digital setiap saat. Beberapa pelajar harus menunggu orangtuanya datang dari kerja untuk dapat mengakses materi pembelajaran yang diberikan oleh sekolah dan guru.
Individu yang Aktif

Salah satu beban yang dirasakan berat selama masa pembelajaran online adalah beban tugas yang menumpuk. Ditambah lagi dengan ketiadaan model evaluasi pembelajaran baru yang digunakan selain soal pilihan ganda, uraian, ataupun penugasan semakin memberatkan pelajar.

Kondisi yang dihadapi pelajar ini bertolak belakang dengan setting aktivitas di ruang digital. Perlu diperhatikan bahwa ruang digital telah mampu mengikis batas-batas tradisional seperti produsen dengan konsumen atau penulis dengan pembaca berita. Pada satu waktu individu ini dapat memerankan diri sebagai konsumen dan dalam hitungan detik berubah menjadi konsumen. Tidak ada fungsi yang ajek ketika individu menggunakan media digital. Semuanya tergantung dengan aktivitas yang dilakukannya.

Dengan memperhatikan potret di ruang digital, sudah seharusnya pelajar diposisikan dan difungsikan sebagai individu yang aktif. Tidak menjadi pasif sebagai penerima materi yang diharuskan untuk memahami melalui media dan sumber belajar yang diberikan oleh guru dengan mengabaikan potensi data pengetahuan yang ada di internet.

Ketika pelajar ditempatkan sebagai subjek yang aktif, maka ruang digital yang memiliki segunung pengetahuan akan memiliki kebermaknaan bagi pelajar ketika mereka mengkonstruksi pengetahuan. Dengan keberlimpahan data yang tak terkira jumlahnya pelajar dapat mengkreasi apapun bentuk pengetahuan melalui pembelajaran online.
Sekolah dan guru hanya menyiapkan peta jalan untuk para pelajar. Biarkan mereka mencipta dan mengkreasi apapun yang ada dalam benaknya.

Zudan Rosyidi mahasiswa S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga, dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya