Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkembangan Emosi, Sosial, dan Spiritual Peserta Didik

Emosi adalah perasaan yang ada dalam diri individu. Emosi dapat berupa perasaan senang atau tidak senang, perasaan baik atau buruk. Emosi juga didefinisikan sebagai “berbagai perasaan yang kuat” (World Book 2015, 690). Perasaan benci, takut, marah, cinta, senang, dan kesedihan. Macam-macam perasaan tersebut adalah gambaran dari emosi. Goleman menyatakan bahwa “emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman 1995).

Perkembangan Emosi, Sosial, dan Spiritual Peserta Didik


Pondasi perkembangan psikososial mencakup emosi dan pengalaman awal anak bersama dengan orang tua. Anak memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kebutuhan sebagai makhluk sosial ini telah aktif dikembangkan anak sejak lahir (Papalia and Feldman 2001). Pada usia 6 bulan, anak telah mampu mengenal ibu dan anggota keluarga yang sering berinteraksi dengannya. 


Pada tahapan ini, anak mulai membedakan sinyal- sinyal ekspresi sosial dari lingkungannya, seperti mengartikan senyum, marah, teriakan, kasih sayang dan sebagainya. Sikap anak, utamanya dalam kemampuan sosial dan emosi ini akan bersesuaian dengan pengalaman yang diperoleh dari interaksi meraka dengan orang lain. Seiring dengan bertambahnya usia, anak mengembangkan kebutuhan dan hubungan sosial yang semakin kompleks dengan lingkungan (Sukatin 2020).  


Fungsi emosi terhadap perkembangan anak antara lain (Darmiah 2020), pertama merupakan bentuk komunikasi. Emosi sebagai bentuk komunikasi menjadikan anak dapat menyatakan segala kebutuhan dan perasaannya terhadap orang lain. Kedua, emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya. Sebagai contoh tingkah laku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian lingkungan terhadap dirinya, yakni seorang anak mengekpresikan ketidaknyamanannya dengan menangis, lingkungan sosialnya akan menilai dia sebagai anak yang cengeng. 


Sedangkan perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock 2012). Menurut Allen dan Marotz (Musyarofah 2017, 31) perkembangan sosial adalah area yang mencakup perasaan dan mengacu pada perilaku dan respon individu terhadap hubungan mereka dengan individu lain. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Jadi pekembangan sosial ini fokus pada relasi antara peserta didik dengan orang lain.


Baca Juga: Karakteristik Perkembangan Emosi Sosial dan Spiritual


Islam menegaskan manusia diciptakan beragam agar saling kenal mengenal (QS. al-Hujurat:13); manusia harus saling tolong menolong (Q.S. al-Maidah 2); sesama orang-orang yang beriman itu bersaudara (QS. Al-Hujurat: 10); dan kaum muslim itu adalah umat yang satu (QS. Al-Anbiya: 92), kesemuanya berimplikasi pada guru harus menanamkan rasa kebersamaan dan peserta didik dapat menyesuaikan diri baik sebagai individu maupun dalam kehidupan sosialnya. 


Perkembangan sosial peserta didik adalah tingkatan jalinan interaksi anak dengan orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman sebaya, hingga masyarakat secara luas. Sedangkan perkembangan emosional adalah luapan perasaan ketika anak berinteraksi dengan orang lain. 


Adapun spritualitas merupakan aspek yang lebih banyak melihat lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, dan sikap personal. Spritualitas adalah cita rasa totalitas kedalaman pribadi manusia. Ada yang menyamakan antara spritualitas dengan religiusitas, namun banyak pula yang membedakan keduanya. Yang jelas bahwa dalam spritualitas mengandung makna semangat, roh, jiwa, dan keteguhan hati atau keyakinan.


Pijakan utama pendidikan berbasis spiritual adalah al-Quran dan Hadis. al-Quran memuat nilai dan ketentuan lengkap dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, posisi Hadis menempati sumber kedua yang berperan sebagai penjelas terhadap isyarat dan nilai yang terdapat dalam al-Quran. Allah menjelaskan akan eksistensi manusia di muka bumi: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS. al-A’raf:172) 


Baca Juga: Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi, Sosial dan Spiritual Peserta Didik


Keseimbangan antara dunia dan akhirat menjadi suatu keharusan yang ditanamkan sejak dini pada peserta didik. Al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan kebahagiaan peserta didik baik dunia maupun akhirat (Arif 2002). Oleh karena itu pendidikan diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan kelak di akhirat (QS. Al-Qashash: 77).