Perbedaan Kurikulum Cinta dan Kurikulum Merdeka: Membedah "Raga" dan "Jiwa" Pendidikan Indonesia
Dalam lanskap pendidikan Indonesia saat ini, muncul dua terminologi besar yang sering didiskusikan oleh para pendidik dan pemangku kebijakan. Pertama adalah Kurikulum Merdeka, yang merupakan kebijakan nasional resmi dari Kemendikbudristek. Kedua adalah Kurikulum Cinta (atau Kurikulum Berbasis Cinta), sebuah gagasan yang didorong kuat oleh Kementerian Agama (Kemenag) sebagai "ruh" atau jiwa dari pendidikan karakter.
Memahami perbedaan keduanya sangat penting agar pendidik tidak melihatnya sebagai dualisme yang membingungkan, melainkan sebagai dua sayap yang saling melengkapi.
1. Asal Usul dan Pemegang Kebijakan
Perbedaan paling mendasar terletak pada otoritas dan cakupan legalitasnya:
Kurikulum Merdeka:
Diinisiasi oleh Kemendikbudristek (di era Menteri Nadiem Makarim). Ini adalah kerangka dasar pendidikan nasional yang wajib diterapkan di sekolah-sekolah umum (SD, SMP, SMA/SMK) dan diadopsi oleh Madrasah dalam struktur pembelajarannya. Fokus utamanya adalah transformasi sistem pembelajaran agar lebih relevan dengan zaman.
Kurikulum Cinta:
Gagasan ini dipopulerkan secara masif oleh Kementerian Agama (Kemenag), terutama di bawah kepemimpinan Menteri Agama Nasaruddin Umar. Kurikulum Cinta bukan pengganti Kurikulum Merdeka, melainkan sebuah pendekatan nilai (value-based approach) yang ditanamkan khususnya di lingkungan madrasah dan pesantren untuk memperkuat karakter humanis dan toleransi.
2. Filosofi Dasar: Kebebasan vs. Kasih Sayang
Meskipun keduanya bertujuan memanusiakan manusia, titik berangkat filosofisnya berbeda:
Kurikulum Merdeka: Fleksibilitas & Kompetensi
Filosofi utamanya adalah "Kemerdekaan Belajar". Kurikulum ini memberikan otonomi kepada guru untuk mengajar sesuai tahap capaian siswa (teaching at the right level). Tujuannya adalah menciptakan pembelajaran yang fleksibel, berpusat pada murid, dan relevan dengan kebutuhan industri/masa depan. Kuncinya adalah Diferensiasi.
Kurikulum Cinta: Afeksi & Harmoni
Filosofi utamanya adalah "Kasih Sayang Universal". Kurikulum ini berangkat dari keprihatinan terhadap maraknya perundungan (bullying), intoleransi, dan kekerasan di sekolah. Filosofinya menekankan bahwa pendidikan harus dijalankan dengan hati. Siswa tidak hanya dicetak menjadi pintar, tetapi menjadi manusia yang penuh cinta (kepada Tuhan, sesama, dan alam). Kuncinya adalah Internalisasi Nilai.
3. Fokus Materi dan Implementasi
Bagaimana kedua konsep ini terlihat berbeda di dalam kelas?
Fokus Kurikulum Merdeka:
Materi Esensial: Memangkas materi yang terlalu padat agar siswa bisa belajar lebih mendalam (Deep Learning).
P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila): Pembelajaran berbasis projek untuk mengasah soft skills dan gotong royong.
Pengembangan Kompetensi: Literasi, numerasi, dan adaptabilitas teknologi.
Fokus Kurikulum Cinta:
Panca Cinta: Kurikulum ini menanamkan 5 nilai cinta utama:
Cinta kepada Tuhan.
Cinta kepada diri sendiri (menghargai diri).
Cinta kepada sesama (toleransi).
Cinta kepada ilmu pengetahuan.
Cinta kepada lingkungan/tanah air.
Pencegahan Kekerasan: Menjadi benteng preventif terhadap bullying dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Pendekatan Guru: Guru diposisikan bukan hanya sebagai fasilitator ilmu, tetapi sebagai "Orang Tua Kedua" yang mengasuh dengan empati.
4. Tabel Perbandingan Utama
Berikut adalah ringkasan perbedaan untuk memudahkan pemahaman:
| Aspek | Kurikulum Merdeka | Kurikulum Berbasis Cinta |
| Sifat | Struktural & Metodologis (Sistem) | Kultural & Spiritual (Nilai/Ruh) |
| Tujuan Utama | Kompetensi, Literasi, & Profil Pancasila | Karakter Welas Asih, Toleransi, & Anti-Kekerasan |
| Kata Kunci | Diferensiasi, Projek (P5), Fleksibilitas | Emosi, Empati, Harmoni, Panca Cinta |
| Peran Guru | Fasilitator yang memerdekakan nalar siswa | Pengasuh yang menyentuh hati siswa |
| Output Ideal | Pelajar Sepanjang Hayat yang Kompeten | Manusia yang Humanis, Damai, dan Bahagia |
5. Sinergi: Mengapa Keduanya Harus Bersatu?
Adalah keliru jika mempertentangkan keduanya. Justru, Kurikulum Cinta hadir untuk mengisi ruang kosong yang mungkin terlewat oleh fokus teknis Kurikulum Merdeka.
"Kurikulum Merdeka adalah Raga (Body) yang memberikan struktur fleksibel dan modern, sementara Kurikulum Cinta adalah Jiwa (Soul) yang memastikan struktur tersebut berjalan dengan nilai kemanusiaan."
Tanpa Kurikulum Merdeka, pendidikan kita mungkin kaku dan tertinggal zaman. Namun, tanpa Kurikulum Cinta, kita berisiko mencetak generasi yang cerdas secara intelektual tetapi kering secara emosional dan spiritual—generasi yang pintar membuat teknologi tetapi gagal merawat toleransi.
Implementasi terbaik adalah ketika sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka dengan pendekatan Cinta. Misalnya, saat melakukan projek P5 (metode Merdeka), guru membimbing siswa untuk menyelesaikan konflik kelompok dengan penuh kasih sayang dan saling menghargai (nilai Cinta).
