Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berkah Mungkin


Berkah Hasilnya

Angin malam yang berhembus dengan ritme yang tak seperti biasa, ombak yang bergulung-gulung tak senormal biasanya, dan kicau burung camar yang terdengar memekakkan telinga umat manusia terasa sangat biasa akhir-akhir ini.
Bagaikan bintang di langit malam tanpa matahari, desa nelayan di pinggir pantai itu nampak kerlap-kerlip karena lampu minyak dan obor yang dinyalakan malam ini. Begitulah kebiasaan Mereka jika menyambut datangnya tahun baru.
Tak jauh berbeda dengan Tarjo dan keluarganya. Keluarga nelayan itu juga sudah menyiapkan lampu minyak yang telah lama Mereka simpan hanya untuk acara-acara seperti ini.
“Hati-hati ya nduk bawanya, itu satu-satunya lampu yang paling bagus.” Suara Lastri, Ibu Tarjo yang sudah sepuh itu berbicara pada adiknya, Ijah.
“Iya Bu.” Ijah membalas dengan nada sopan sembari melangkah menuju lemari pakaian Ibu mereka untuk mengambil lampu yang dimaksud.
Setelah memegang lampunya, dia menghampiri sang Ibu yang saat ini sedang mengisi obor dengan minyak tanah. “Bu, ini mau diletakkan di mana?” Lastri menoleh, terihat berpikir sejenak.
“Kamu cantolkan saja di sana, di dekat pintu ya.” Jawabnya sambill menuding ruang tamu.
Tarjo yang dari tadi hanya diam memerhatikan kesibukan dua orang di rumahnya itu berdiri.
“Mau kemana Kau Jo?” Tanya Bapaknya yang sedang duduk-duduk di kursi goyang reotnya. Tarjo menghentikan langkahnya sejenak.
“Ke depan Pak, mau ngisis.” Jawabnya sambil berlalu.
Sampai di depan, dia meletakkan pantatnya di bayang bambu satu-satunya di desa. Bukan karena langka, tapi di sini tak ada bambu.
Dipandanginya ombak yang bergulung-gulung tanpa henti itu. Satu datang lalu disusul yang berikutnya, begitu seterusnya. Dia yang di sekolah hanya sampai kelas dua SD itu kadang berpikir bagaimana cara Tuhan membuat air jadi bergulung-gulung seperti pasir di gururn yang tertiup angin itu.
Matanya memandang karpet hitam bertabur permata malam itu. Bulan yang kemarin masih bundar sempurna itu kini hanya terlihat bayang saja.
‘Bulan baru ternyata.’ Pikirnya.
“Apa besok laut masih tetap mengamuk? Lalu kapan Aku bisa berlayar lagi?” Gumamnya lirih.
--
Di tengah ramainya pasar malam minggu yang muncul seminggu sekali itu terlihat Tarjo yang sedang berjalan seorang diri. Kakinya melintasi berpuluh-puluh stand sudah tapi belum ada satupun yang menarik perhatiannya.
“Ayo ayo dipilih-pilih ikan segarnya!” Sebuah suara yang seolah mengalahkan seluruh keramaian ini membuatnya terdiam. Ia tolehkan kepalanya ke kanan ke kiri tapi tak kunjung Ia temukan sang penjual ikan yang tadi berteriak.
Kakinya dengan segera bergerak seolah itu adalah kesempatan terakhirnya. Meski tak tentu arah dan beberapa kali tubuhnya menabrak para pengunjung pasar kakinya tak mau berhenti.
“Huh huh huh hu.” Nafasnya yang tersengal-senggal itu tak jua membuatnya menyerah.
“AWAASS!” Teriakan orang-orang ketika sebuah kapal hendak menubruknya.
“Huh mimpi macam apa itu? Memang ada kapal yang jalannya di darat.” Tarjo terbangun dengan peluh yang menetes sampai ke kaosnya. Sambil menggeleng-geleng tak percaya diambilnya segelas air di atas meja kayu sebelahnya.
‘Aku harus pergi melaut besok! Mau jadi apa nelayan yang berhenti ke laut. Kalau susah malah akan semakin susah.’ Batinnya.
__
Sesuai perkataannya kemarin, Tarjo malam ini terlihat sudah siap. Di pundak kanannya bertengger jaring milik Bapaknya yang sudah tiga tahun ini Ia pakai, Capil yang masih terlihat bagus miliknya itu juga sudah terpakai dengan pas di kepalanya.
“Pak Bu, Tarjo mau ke laut dulu.” Ucapnya sambil mencium punggung tangan keduanya bergantian.
“Angin daratnya masih nggebes Le.” Peringat Bapaknya dengan nada khawatir, tangan kanannya masih menggenggam tangan anak sulungnya itu.
“Ndak apa-apa Pak, mau seberapa lama lagi Tarjo nganggur. Mesin kapal Tarjo juga sudah lama nggak dipakai Pak. Takutnya rusak nanti.” Jawabnya sambil menggenggam balik tangan Bapaknya.
“Ya wes, hati-hati ya Le!” Ibunya bersuara sambil bangkit mengantar anaknya keluar rumah.
“Assalamu’alaikum.” Salamnya sebelum mulai melangkah menjauh. “Wa’alaikumsalam.” Dalam diam Bapak dan Ibunya hanya dapat mendoakan agar anaknya itu selamat sampai ke rumah lagi.
..
Di tengah jalan Tarjo melihat tetangga-tetangganya sesama nelayan tengah menyebar di beberapa titik pinggiran pantai. Tarjo yang penaaran mendekati salah seorang temannya, Panji.
“Lagi cari apa to Ji” Tanyanya pada Panji. “Walah ini lho Jo, cari kepiting. Buat dijual nanti pagi. Lah Kau mau ke mana Jo, kok bawa jaring segala?” Tanya Panji kemudian.
“Ekonomi sedang susah gini Aku sudah lelah diam di rumah. Mau pergi ke laut. Siapa tahu beruntung.” Jawab Tarjo. Panji melotot mendengar jawaban kawannya itu.
“Kau tak lihat ombak lagi gede gini? Di pinggiran gini saja sudah bisa menggoyahkan badanku!” Tarjo tersenyum mendengarnya.
“Tahu Aku Ji, tapi ya mau bagaimana lagi?” Panji terdiam. “Ya wes Aku duluan ya Ji.” 
Masih beberapa langkah sebuah tangan yang memegang lengannya membuat Tarjo mengernyit, Dia tolehkan kepalanya kearah Panji.
“Kau tak butuh bantuan?” Tarjo tersenyum.
__
Di dalam perjalan menuju tengah laut, Tarjo dan Panji larut dalam pembicaraan yang menyangkut kondisi ekonomi mereka saat ini.
“Gimana lagi Ji, Aku ini kan lahir di keluarga nelayan. Mau jadi apa kalau berhenti?”
“Ya, Kau kan bisa ngerantau kayak Mas Sunarto tetangga kita itu. Kan lumayan kalau sukses di rantau sana.” Balas Panji sambil membenarkan jaring yang nyantol. Tarjo mengernyit.
“Lha, Kita yang dari desa ini punya kekayaan yang berlimpah kok malah dibiarkan gitu aja tanpa dimanfaatin. Ya mending Aku di sini aja.” Jawab Tarjo sambil memandang laut lepas yang memantulkan bayangan bintang itu.
Panji berhenti sejenak dari pekerjaannya. Matanya mengikuti arah pandangan kawannya itu.
“Ucapanmu itu ya nggak ada salahnya juga Jo, tapi sayangnya kita ini kurang tepat memanfaatkan apa yang ada. Kurang ilmunya, jadi ya nggak bakal ada perubahan kalau begini terus. Jaman kan udah berubah, sekarang kapal-kapal gede aja bisa dapet berton-ton ikan sekali nyaring. Nah, kita apa? Boro-boro berton-ton. Maksimal ukurannya aja nggak sampai 70 cm.” Kali ini Tarjo yang terdiam 
“Belum lagi hambatan-hambatan yang lain kayak perahu kita ini. Kalau cuaca lagi nggak memungkinkan mana bisa kita bisa ngelaut kalau nggak bondo nekat kayak sekarang ini.” Lanjut Panji.
“Kita yang orang kecil ini bisa apa lagi Ji?” Tanya Tarjo.
“Kalau Kau tanya diriku ini ya nggak bakal ada jawabannya Jo, Haha. Sudah berulang kali orang-orang desa kita minta bantuan dari pemerintah daerah, tapi jawabannya ya hanya sekedar ‘tunggu’ saja.” Panji membalas.
TIIT TIIT
Suara dari jam tangan Panji itu mengalihkan fokus mereka sejenak.
“Jam sembilan Jo. Kita mau sejauh mana lagi?” Ucap sekaligus tanya Panji. Tarjo memandang sekeliling, mengira-ngira keadaan. Gelombang agaknya lebih kalem di sini.
“Kita jalan dikit lagi aja Ji, baru nebar jaring.” Jawab Tarjo kemudian.
++_++
TIIT TIIT
Kali ini jam yang sedang kelap-kelip itu sedang menunjukkan angka dua belas. Tarjo sedang sibuk mangaduk kopi di gelas plastik, lalu memberikannya pada Panji yang sibuk menghitung bintang.
“Makasih Jo.” Dan hanya dibalas dengan ‘sama-sama’ dari Tarjo.
“Kalau Kau berangkat sendiri, ngapain aja Kau sambil nungguin matahari nampak?” Tanya Panji setelah menyesap kopi buatan tarjo yang agak-agak pahit itu. Tarjo berpikir sejenak.
“Ngopi, ngitung bintang, sesekali ngecek jaring, tidur. Mau apa lagi kalau nggak begitu, haha.” Jawab Tarjo. Panji hanya manggut-manggut saja mendengarnya.
“Aku yang dengar saja sudah bosan duluan Jo, Haha.” Mereka tertawa.
Sambil sesekali terkantuk-kantuk kedua pemuda itu akhirnya berhasil melewati waktu. Dibantu Panji, Tarjo mulai mengangkat jaringnya perlahan. Berat memang sampai-sampai peluh memenuhi sekujur tubuhnya, begitu pula dengan Panji.
Sampai setengah jaring sudah mereka entas, tapi yang nyantol hanya ikan-ikan berukuran kecil yang lebih cocok dibuat asinan. Tapi kemudian sebuah kepala nongol ke permukaan. Mereka sempat terkejut.
“Apaan itu Ji, besar banget. Coba Kau angkat!” Panji yang sama-sama terkejut hanya menurut saja.
Ternyata sebuah ikan Tuna yang masih bocah, namun namanya Tuna. Ukurannya bukan main membuat mereka bersorak girang. Semakin diangkat ternyata banyak juga Tuna yang nyangkut di jaring mereka.
“Mimpi apa Kita kemarin Jo, nekat ngelaut malah dapet Tuna sekampung, Haha.” Kata Panji sambil tetap melepaskan Tuna-tuna itu dari jaring.
Dari keberuntungan tak terduga itu mereka pulang dengan tanpa lelah. Malah senyum merekah yang tersungging di muka kedua pemuda itu. Para tetangga yang sedang nyangkruk di sekitaran pantai sambil menjemur ikan asin pun hanya dapat menelan air liur.
Tapi apa bisa mereka dapat ikan macam ini untuk yang kedua kalinya jika mengandalkan nasib baik saja. Jawablah wahai orang berduit!!

By : Ade Bella Hakiky