POLEMIK CORONA DI DUNIA MAYA
POLEMIK CORONA DI DUNIA MAYA
Oleh: Muchotob Hamzah
(Rektor Universitas Sains Al-Quran Jawa Tengah di Wonosobo)
Perang dunia melawan corona menimbulkan banyak diskusi dan polemic. Perang yang digambarkan oleh Presiden Uganda, Yoweri Museveni, sebagai perang tanpa medan, tanpa amunisi, tanpa tentara, tanpa belas kasihan. Gloria Setyvani Putri dalam KOMPAS.com - menyebutkan, jumlah pasien terinfeksi corona di dunia, hingga Minggu (7/6/2020) pukul 21.49 WIB adalah 7.023.667 kasus. Dari 6,97 juta orang yang positif terinfeksi Covid-19, 402.932 pasien meninggal dunia dan 3.433.067 dinyatakan sembuh. Terdapat 213 negara dan wilayah di seluruh dunia yang telah melaporkan Covid-19.
Meskipun begitu dahsyatnya penyebaran covid19, ada hikmah di balik wabah covid 19 (coronavirus) yang melanda dunia pada akhir Desember 2019 sampai hari ini, yaitu bertambahnya kecerdasan manusia melalui polemik terutama di dunia maya. Di sisi yang lain justru ada pengurasan energi manusia yang seharusnya dapat digunakan untuk melawan virus itu sendiri. Polemik tersebut minimal mencakup lima dimensi yaitu: teologi, politik. ekonomi, kesehatan dan budaya.
Pertama: Polemik teologi: Polemik ini, untuk kasus Indonesia didominasi oleh kalangan Islam sebagai umat mayoritas sekaligus, meskipun ada juga perdebatan pada umat selain Islam. Adalah logis kalau umat Islam paling berkepentingan memperdebatkan sikap yang harus diambil menghadapi corona. Melihat penularan covid 19 yang eksponensial via kumpul-kumpul, padahal umat Islam adalah umat yang paling banyak frekwensi berkerumun-berjamaah pada tiap kesehariannya. Jamaah umat ini tiap hari minimal lima kali, belum pada momen-momen Jum’at, tarawieh, silaturahmi/halal bi halal, dan lain-lainnya. Selain gugus gugas percepatan penanganan wabah covid-19, semua ormas Islam telah memberikan seruannya, mendukung phisycal distancing (jaga jarak), pakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir. dsb. Fatwa ibadah jumat diganti zuhur, tarawieh dan tadarus di rumah, silaturahmi via medsos dsb. telah diekspos baik secara resmi maupun oleh situs-situs dari MUI, NU, Muhammadiyah dsb.
Kendati demikian, dalam menyikapinya umat terbelah dalam tiga mainstream, yakni kelompok A- Jabariyah, B- Qadariyah-Mu’tazilah dan C- Aswaja (Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah), masing-masing bertahan dengan sikap dan pandangannya. Memang taksonomi ini tidak mutlak. Ada kelompok A yang lebih mengqadariyah, dan ada kelompok C yang lebih cenderung Jabariyah dan sebaliknya. Setidaknya hal ini dapat untuk membedakan
Kelompok A tampak abai terhadap sebaran covid 19 dan lebih mengandalkan keimanannya kepada Allah SWT. yang secara vulgar disebar lewat video dengan slogannya “Kami tidak takut corona, Kami hanya takut kepada Allah”, seakan kelompok B+C adalah kelompok yang lemah iman. Mereka juga membawa hadits tentang bakal dilindunginya orang beriman yang masuk mesjid untuk tidak mungkin terkena “ahah” daalam kontek saat ini, corona. Hadits tersebut riwayat Ibnu Adi (juz. 3 hlm. 233); al-Dailami (al-Ghumari, al-Mudawi, juz. 1 hlm. 292; Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (juz. 1 hlm. 159); dan al-Daraquthni dalam al-Afrad (Tafsir Ibn Katsir juz 2 hlm 341).
Hadis ini adalah hadis dha’if. (lihat Nashiruddin al-Albani, Shahih wa Dha’if al-Jami’ al-Shaghir, juz IV, hal. 380, hadis no. 1358). Meskipun dikatakan dha’if, kelompok A tidak mau bergeming. Salat Jum’at, tarawieh secara berjamaah tetap berjalan. Apalagi yang mendha’ifkannya Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang sebagian ulama memandang sebelah mata, karena gelar akademiknya belum setingkat al-Hafidz seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani dkk. apalagi khalifah seperti Imam Bukhari dkk. Anehnya, Al-Albani (bukan dalam soal corona), berani mendha’ifkan sebagian dari kitab sahihnya Imam Bukhari Muslim.
Sementara kelompok B+C beralasan dengan berbagai hadits sahih sejarah tentang bagaimana cara menyikapi, beribadah, menghindari tha’un maupun bahaya musuh di zaman Nabi saw. dan berlanjut pada zaman Khalifah Umar Bin Khathab ra. Ketika nabi saw. bersama sahabat Abu Bakar ra. berlindung di gua Tsur, sahabat Abu Bakar takut kalau nabi saw. tertangkap musuh, Allah SWT. menyampaikan kepadanya dengan ungkapan “Laa Takhzan” (jangan sedih). A;ah SWT. Maha Tahu bahwa senyatanya Abu Bakar memang betul takut. Berarti takut kepada selain Allah SWT. ada juga pada beliau. Dan itu tidak menjadikan Abu Bakar sebagai orang yang tidak kuat imannya apalagi menjadi musyrik ashghar sekalipun, selama takutnya tidak melebihi takutnya kepada Allah SWT.
Betapapun dalil, argumentasi masing-masing selalu muncul, termasuk bagaimana nabi saw. dan sahabat melakukan salat khauf dalam peperangan yang disikapi secara berbeda antara kelompok tersebut. Kelompok A mengatakan, “Tu… meskipun dalam peperangan, salat jama’ah tetap dilakukan”. Sementara kelompok B+C mengatakan musuh zaman nabi itu musuh yang tampak dan bisa disiasati dengan model salat khauf. Sedangkan covid 19 musuhnya adalah virus yang kecilnya berukuran 125 nanometer atau 0,125 mikrometer, satu mikrometer sama dengan 1.000 nanometer, dan bisa dibawa oleh OTG (Orang Tanpa Gejala). Tochhh kelompok-kelompok tersebut tetap berjalan sendiri-sendiri. Jadi kita harius lebih waspada daripada musuh yang tampak mata kepala. Lalu apa hasilnya, ya, menurut survey, 42% umat Islam tetap melaksanakan kerumunan dalam bentuk jamaah salat khususnya, meskipun sebagian tetap menggunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak.
Kedua: Polemik Politik. Perebutan pengaruh untuk menjadi adikuasa antara blok AS dengan China adalah factual, lalu menjadi bahan utama dalam polemic ini. Panjangnya perdebatan, sebagian beujung pada teori konspirasi. Teori konspirasi menyebut bahwa sebaran corona, tak lain dan tak bukan adalah perbuatan elite global Illuminati dengan menggunakan tangan AS untuk menuju satu tatanan dunia baru yang mau mereka kuasai. Konon merekalah yang mengendalikan seluruh presiden AS, dan sebagian besar tokoh politik, ekonomi, pers, budaya, dan sains di seluruh dunia. Teori tersebut tidak sedikit penganutnya. Andaikata benar Illuminati sebagai biang keroknya, yang aneh Negara Israel tidak steril dari wabah ini. Negara sesedikit begitu wargnya, menurut Kementerian Kesehatan Israel, dilansir laman Anadolu, Senin (20/4/2020) mengatakan ada 97 kasus baru dilaporkan di negara itu, membuat penghitungan menjadi 13.362, beberapa di antaranya 156 dalam kondisi kritis. Namun, sebanyak 3.564 orang telah pulih. Apakah mereka sengaja dikorbankan?
Lalu Negara adikuasan AS. Presiden Donald Trump sekalipun kelabakan menghadapinya, karena AS sendiri menjadi episentrum corona. Labih jauh lagi banyak tokoh politik internasional yang kena corona seperti Pangeran Alberti II dari Monako. Lalu Senator Rand Paul; US Capitol, Gedung Kongres AS (DPR dan DPD). Antonio Vieira Monteiro, Portugal ini dilaporkan meninggal karena Virus Corona pada 18 Maret. Hadi Khosrowshahi Mantan Duta Besar Iran untuk Vatikan, meninggal pada Kamis (27/2/2020). Masoumeh Ebtekar Wakil Presiden Iran Bidang Keluarga dan Perempuan. Mohammad Mir-Mohammadi Penasehat Pemimpin Tinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yaitu Mohammad Mir Mohammadi (71) diketahui meninggal 2 Maret 2020 setelah positif Covid-19. Nicola Zingaretti Pemimpin Partai Demokrat Italia. Franck Riester Menteri Kebudayaan Perancis Franck Riester positif terinfeksi virus corona. Carmen Calvo: Wakil perdana menteri Spanyol dites positif terkena virus corona pada 25 Maret. Pangeran Charless dari Inggeris dan Boris Johnson PM. Inggeris, dsb. Apakah mungkin mereka terkena jebakan ulahnya sendiri?! Rasanya tidak!!!
Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, pada awal Maret lalu via akun twitternya meyakini teori konspirasi yang melibatkan AS ini. Ia mendukung teori konspirasi tersebut termasuk terkait ditutupnya sebuah laboratorium di Negeri Paman Sam sebelum wabah ini menyebar. Ditambah dengan tidak transparannya pemerintahan Donald Trump. "Mungkin tentara AS yang membawa epidemi ke Wuhan. Ayolah transparan! Beritakan data ke publik, kami butuh penjelasan," petikan dari cuitan Zhao Lijian saat itu. Orang yang dituduh China sebagai pasien nol bernama Maattje Benassi, tentara wanita AS yang pernah datang ke Wuhan, kini benar-benar menderita karena tuduhan sebagai penyebar “Virus USA” menurut ungkapan China. Sumber lain menyebutkan hal senada, bahwa narasi yang berisi teori konspirasi "tentara Amerika merupakan penyebar virus Corona Covid-19 ke Cina" berasal dari salah satu pejabat Cina yang belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Sebaliknya AS menuding pasien nol adalah pekerja dari lab di Wuhan China yang meneliti virus dari kelelawar yang bocor dan China tidak bisa mengendalikan hingga menyebar menjadi pandemi. AS memicu banyak pakar virology untuk meneliti asal-muasal virus ini. Hasilnya, banyak pakar yang membuktikan adanya rekayasa virus yang mengarah tuduhannya kepada China. Terlepas benar atau tidaknya teori konspirasi ini, yang jelas semua tuduh menuduh ini belum terbukti.
Ketiga: Polemik Ekonomi. Perang dagang AS dan China ditonton oleh mata dunia. Belum lama ini, pemerintah Jerman mengundang Huawei untuk membangun network 5G, yang merupakan pukulan K-O bagi AS. Jaringan yang memenangkan semua dukungan dari Negara UE dan sekaligus United Kingdom yang juga sobat dekat AS. Sebab manakala dunia menerima Huawei 5G, dinas rahasia AS, CIA tidak dapat lagi mengintelijeni Huawei dari pintu manapun.
Ada joook di dunia medsos, bahwa dalam periode 20 tahun yang lalu, AS masih memiliki orang hebat bernama John Cash, Bob Hope, Steve Jobs dan Bill Gates. Maka ketika tiga orang hebat yang pertama meninggal dunia, tinggal tersisa Bill Gates doaaang. Maka kata medsos, AS sudah kehilangan Cash (uang tunai=John Cash), Hope (harapan=Bob Hope) dan Jobs (lapangan kerja-Steve Jobs), maka yang tersisa adalah Bill (hutang=Bill Gates)… tapi itu sekedar joook. Yang real adalah apa yang sering ditulis oleh mantan wartawan dan mantan menteri Dahlan Iskan tentang begitu jauh ketertinggalan ekonomi AS di masa depan antara AS dan China. Adakah ini yang menjadikan mereka selalu adu kekuatan? Perdebatan soal ini di Indonesia banyak dibumbui oleh kenyataan tentang banyaknya TKA yang datang ke Indonesia dengan ditambah kecemburuan social ekonomi terhadap warga Negara sah republik ini yang kebetulan sebagai keturunan dan menguasai sektor ekonomi.
Selain itu juga masalah jatuh keberuntungan bagi China tentang perdagangan minyak bumi, nikel, uang virtual dls. yang menambah utang AS terhadap China dan ketertinggalannya. Slogan siapa menguasai minyak akan menguasai dunia, sudah basi. Siapa yang menguasai uang (dolar) akan menguasai dunia sudah layu. Bukan hanya karena faktor China, tetapi ada factor X invisible hand yang mempengaruhi. Perekonomian AS yang semakin merosot menambah jauhnya Negara-negara seperti Pilipin dll, bahkan ada Negara besar yang menjauh dari AS yang menjadikan tambahnya kegalauan AS. Akibat PHK, pandemi virus corona, khususnya pada kuartal I dan II tahun 2020, seorang ekonom bernama Goldman Sachs, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi rial AS negatif 9 persen pada kuartal I dan berlanjut hingga 34 persen pada kuartal II. Itulah yang ditakuti dunia, karena kalau masalah corona menimbulkan konflik, AS mengancam akan meledakkan nuklir (?) Semoga semua berwawasan dewasa dan tidak terjadi!
Keempat: Polemik kesehatan. Di dunia kesehatanpun perdebatan tak kalah seru hingga menambah hangatnya suasana corona. Pada awal-awal covid 19, bahkan menkes RI mengatakan bahwa yang harus pakai masker hanya orang yang sakit karenanya. Orang sehat tidak diperlukan. Kini, semua orang yang keluar rumah harus memakai masker. Di lain pihak WHO menyatakan bahwa awal virus berasal dari kelelawar di Wuhan, sementara AS menyatakan sebagai kesengajaan China atau setidaknya keteledoran China. Perdebatan yang lain tentang efektifitas obat yang digunakan, pencarian vaksin yang simpang siur katanya sudah diketemukan dan ada yang bilang menunggu bertahun-tahun dsb. Fakta atau mitos tentang kematian virus-pun jadi perdebatan. Apakah virus ini bisa mati karena suhu panas dari iklim atau tidak, apakah jenazah covid 19 masih bisa menularkan virus apa tidak, menjadi bahan perdebatan yang massif. Bagaimana strategi dan taktik penanggulangan covid demi menegakkan kesehatan rakyat juga selalu menjadi perdebatan. Antara Lockdown atau cukup PSBB menjadi bahan yang hangat pula untuk diperdebatkan.
Seorang profesor Universitas Stanford sekaligus pemenang Nobel Kimia, Michael Levitt mengklaim bahwa Lockdown untuk COVID-19 hanya menyebabkan lebih banyak kematian. Dilansir dari Daily Mail, Levitt menyatakan bahwa keputusan untuk mengarantina warga dalam ruangan hanyalah sebuah bentuk 'kepanikan' alih-alih berdasarkan ilmu pengetahuan terbaik. Levitt membantah analisis pemodelan matematika yang sempat dikemukakan oleh salah satu ahli epidemiologi ternama Inggris, Profesor Neil Ferguson. Dalam keketerangannya, Levitt menyebut Ferguson hanya 'melebih-lebihkan' angka kematian karena COVID-19. Seperti diketahui, Ferguson yang juga sempat menjadi penasihat pemerintah Inggris untuk COVID-19, telah memprediksi bahwa jumlah korban jiwa karena Virus Corona bisa mencapai 500 ribu orang atau 10 hingga 12 kali lipat. Karena analisis Ferguson inilah, pemerintahan Inggris langsung melakukan upaya drastis, yaitu mulai mengunci wilayahnya pada akhir Maret lalu. "....Saya pikir para pemimpin panik dan orang-orang (juga) panik. Hanya ada sedikit diskusi (tentang penguncian atau Lockdown). "Saya pikir itu (penguncian) mungkin (justru) telah menelan banyak nyawa. (Lockdown) memang akan menyelamatkan beberapa nyawa dari kecelakaan lalu lintas, dan hal-hal semacam itu. Namun, kerusakan sosial (seperti) kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, alkoholisme menjadi sangat ekstrem. Levitt lantas menyarankan bahwa pemerintah Inggris seharusnya hanya perlu mendorong warga untuk mengenakan masker sembari menemukan cara lain untuk terus bekerja sembari terus menjaga jarak sosial atau fisik.
Meski bukan merupakan seorang ahli epidemiologi, tetapi klaim Levitt ini senada dengan laporan dari perusahaan perbankan global asal Amerika Serikat, JP Morgan. Seperti diketahui, terkait dengan Lockdown, ahli strategi sekaligus fisikawan JP Morgan, Marko Kolanovic sempat menyatakan dengan tegas bahwa penguncian sudah gagal mengubah arah pandemi dan sebaliknya hanya 'menghancurkan jutaan mata pencaharian'. Analisis yang dikemukakan oleh Kolanovic ini memang patut dipertimbangan. Pasalnya, beberapa negara justru dilaporkan mengalami tren penurunan kasus infeksi meski penguncian telah dicabut.
Denmark misalnya, setelah membuka kembali sekolah hingga pusat perbelanjaan, negara ini dilaporkan makin mengalami penurunan tingkat R (jumlah reproduksi untuk menilai kemampuan penyebaran penyakit) untuk COVID-19. Pun, angka R di Jerman juga cenderung stagnan di bawah 1,0 meski penguncian telah dilonggarkan. "Memang, hampir di mana-mana tingkat infeksi menurun setelah dibuka kembali.Ini berarti bahwa pandemi dan COVID-19 kemungkinan memiliki dinamika (mereka) sendiri yang tidak terkait dengan tindakan penguncian yang sering tidak konsisten seperti yang sedang dilaksanakan (pemerintah AS).
"Fakta bahwa pembukaan kembali tidak mengubah arah pandemi konsisten dengan penelitian yang menunjukkan bahwa inisiasi kuncian penuh juga tidak akan mengubah arah pandemi," tambah Kolanovic.
Hal yang disepakati barangkali tentang cara penularan, usia rentan, dan betapa sakitnya orang yang terserang covid 19. Kita sepakat bahwa makhluk mahakecil bernama virus corona dapat menaklukkan istana kepresidenan dan kerajaan. Bisa menjungkal-balikkan devisa Negara, bisa membenunuh ahli virus dan dokter-dokternya. Dan yang paling fenomenal, bisa mengembalikan kesadaran manusia bahwa secanggih apapun ilmu manusia, termasuk ingin mengabadikan hidup manusia (human immortality), menguasai planet-planet lain di angkasa luar, ternyata kalah dengan covid-19, dan manusia harus kembali dalam kesadaran atas Kuasa Dzat yang menguasai alam semesta, Tuhan YME, Allah SWT.
Kelima: Polemik Budaya. Seperti diuraikan terdahulu, orang berdebat apakah adanya covid -19 merupakan sesuatu yang murni situasi apakah konspirasi. Pihak yang mengatakan semata-mata situasi dikaitkan dengan dosa-dosa umat yang tidak ketulungan, perubahan iklim, mutasi virus alamiyah, kebocoran penelitian virus dll. Sementara pihak yang mengatakan konspirasi mengaitkan Illuminati atau AS dan Israel, sebagai biangnya, karena adanya kemiripan antara kejadian di Wuhan dengan film Contagion yang dibuat tahun 2011 di Amerika Serikat yang seakan menggenapi film fiksinya.
Dalam film tersebut ada enam kemiripan dengan situasi serangan virus corona di Wuhan yang berjangkit mulai 1 Desember tahun 2019 dan merambah ke seluruh dunia, termasuk AS yang saat ini merupakan korban terbanyak. Sampai awal April 2020, orang yang terpapar virus telah mencapai di atas 230.000 orang. Film yang disutradarai oleh Steven Soderbergh asal Atlanta, Georgia AS ini, dikenal dengan pembuat film independen atau indie. Film ini bercerita tentang dokumentasi sebaran virus yang amat berbahaya, konon murni karya seni yang terinspair (?) oleh berbagai pandemi seperti epidemi SARS pada tahun 2003 dan pandemi flu tahun 2009. Film yang dibintangi oleh Maron Cotillard dan Matt Damon dan bintang papan atas peraih Oscar dari Kate Winslet, Marion Cotillard, hingga Gwyneth Paltrow, diproduksi dengan biaya 60 juta dolar AS (840 miliar rupiah) dan dapat meraup 135 juta dolar AS (1,8 triliun rupiah) dari seluruh dunia. Kemiripan cerita film fiksi dengan fakta yang terkumpul enam hal ini menjadi kecurigaan banyak pihak, yaitu: Pertama: Berawal dari kunjungan ke Asia: Ceritanya, Beth Emhoff (Gwyneth Paltrow) yang baru saja pulang dari kunjungan bisnis di kawasan Asia. Setibanya di Chicago, Ia mengalami batuk dan suhu tubuhnya mencapai 38,7 derajat Celcius. Beth juga susah menelan makanan, pusing, lalu kejang-kejang. Puncaknya Beth tidak bisa ditolong dan meninggal. Kedua: Virus dan Kelelawar. Meninggalnya Beth dalam cerita film Contagion tersebut membuat tim medis yang beranggotan dr. Arrington (Steff Tovar), dr. Cheever (Laurence), dr. Sussman (Elliot Gould) dan dr. Leonora (Marion Cottilard) melakukan riset untuk mengungkap penyebab kematiannya. Dan ternyata akibat kematiannya dari gen kelelawar dan gen babi. Ketiga: Penularan lewat udara dan kontak fisik. Karakter penularan virus dalam ceritera film ini, senyatanya mirip dengan kejadian virus corona dari Wuhan Tiongkok. Keempat: Penggunaan Masker. Adegan di film Contagion juga menunjukkan penggunaan masker. Dari tim medis yang meneliti virus hingga wartawan yang meliput menggunakan masker. Kelima: Fenomena punic buying. Dalam film ini digambarkan masyarakat menjadi panik sehingga memborong dan menyerbu pasar swalayan. Keenam: Kepanikan dari Prancis hingga Amerika Serikat. Dalam film tersebut juga menggambarkan kepanikan yang datang dari bangsa Perancis dan AS. Adakah kebetulan kreasi sang budayawan?
Wallahu A’lam bis-Shawaab.