Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ULAMA PEREMPUAN NUSANTARA YANG MENGGEMPARKAN DUNIA ISLAM SYAIKHAH KHAIRIYAH HASYIM ASY’ARI

ULAMA PEREMPUAN NUSANTARA YANG MENGGEMPARKAN DUNIA ISLAM
SYAIKHAH KHAIRIYAH HASYIM ASY’ARI
(Pendiri Madrasah Kuttabul Banat di Haramain)
ULAMA PEREMPUAN NUSANTARA YANG MENGGEMPARKAN DUNIA ISLAM SYAIKHAH KHAIRIYAH HASYIM ASY’ARI

SYAIKHAH KHAIRIYAH HASYIM (1906-1969) Muslimah Indonesia yang pertama kali menggagas Madrasah Banat di Saudi Arabia agar kaum Hawa diberi ruang untuk bisa belajar sebagaimana kaum Adam. Atas jasa-jasanya, nama Syaikhah Khairiyah diabadikan menjadi universitas di Saudi Arabia, Universitas Khairiyah yang didirikan Aminah Yasin al-Fadani. Universitas ini mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Saudi. Salah satu keluarga Kerajaan Saudi Arabia yang terlibat di dalamnya adalah puteri Bin Abdul Aziz Malik Faishal yang dikenal gigih dalam memperjuangkan aspirasi kaum perempuan.

Syaikhah Khairiyah dilahirkan di Jombang pada 1906 M. Ia adalah anak ke-2 dari 10 bersaudara dari pasangan Kiai Hasyim dan Ibu Nyai Nafiqah. Saudara-saudaranya yaitu Hannah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid (KH. Wahid Hasyim), Abdul Hafidz (KH. Abdul Choliq Hasyim), Abdul Karim (Akarhanaf atau KH. Abdul Karim Hasyim), Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf (KH. Yusuf Hasyim).

Sebagai putri seorang kiai, kencah keilmuan Syaikhah Khairiyah tidak bisa dipisahkan dari tradisi pesantren salaf yang kental dengan kitab kuning. Dalam mendidik Syaikhah Khairiyah, Kiai Hasyim menerapkan sistem berbeda dibanding dengan anaknya yang laki-laki. Jika laki-laki, Kiai Hasyim memperbolehkan mereka untuk belajar di luar Pesantren Tebuireng seperti Kiai Wahid Hasyim yang pernah belajar di Pesantren Siwalan Panji dan Pesantren Lirboyo, dan Kiai Yusuf Hasyim pernah belajar di Pesantren Sedayu Gresik dan Pesantren Krapyak Yogyakarta. Sedangkan bagi perempuan tidaklah demikian. Meskipun secara sekilas, terlihat adanya sebuah diskriminasi dalam mendidik putra-putrinya, namun pada hakikatnya tidaklah demikian. Kiai Hasyim mendidik Syaikhah Khairiyah secara individual, baik melalui sistem sorogan maupun bandongan. Untuk sistem bandongan yang nobatenya dikhususkan bagi laki-laki, Syaikhah Khairiyah tidak terlibat langsung. Ia belajar dengan cara menguping atas ilmu-ilmu yang disampaikan ayahnya kepada ribuan santri. Ketidak terlibatan Syaikhah Khairiyah secara langsung atas pengajian bandongan itu disebabkan tidak adanya pesantren yang dikhususkan untuk kaum Hawa.

Meskipun langkah Syaikhah Khairiyah tidak seluas seperti saudaranya yang laki-laki, akan tetapi, dengan penuh ketekunan, ia belajar kepada ayahnya tentang dasar-dasar agama Islam, seperti membaca al-Qur’an dan mengkaji kitab turast semisal kitab al-Jurûmiyah, al-Imrithi, Maqshûd, al-Fiyah, Fathal Qarîb, Fathal Mu’în, dan Fathal Wahhâb, maka jadilah dirinya sosok perempuan yang alimah.

Ketika dalam masa-masa semangat belajar mengkaji ilmu agama, terbesitlah dalam diri sang ayah untuk menjodohkan Syaikhah Khairiyah dengan salah satu santri seniornya yang dikenal alim dalam berbagai disiplin ilmu agama, yaitu Kiai Ma’shum Ali yang mempunyai banyak karya seperti kitab Amstilâtu al-Tashrifiyyah, Badi’u al-Mistal fi Hisâbi al-Sinîn wa al-Hilal, Fathu al-Qâdir fi ‘Ajâibi al-Maqâdir, dan Durûsu al-Falâkiyyah. Pernikahan tersebut berlangsung pada tahun 1919. Waktu itu usia Syaikhah Khairiyah baru 13 tahun.

Saat membina rumah tangga dengan Kiai Ma’shum Ali, Syaikhah Khairiyah dikarunia tujuh keturunan, yaitu Hamnah, Abdul Jabar, Ali, Jamilah, Mahmud, Karimah, dan Abidah. Semua anaknya ini meninggal dunia kecuali dua, yaitu Abidah dan Jamilah.

Dua tahun dari usia pernikahannya (1921), Kiai Hasyim memerintahkan kepada Syaikhah Khairiyah dan suaminya untuk mendirikan pesantren tersendiri. Kiai Hasyim memandang bahwa keduanya itu sudah mampu untuk mengelola pesantren dengan mandiri. Dengan penuh ketaatan, keduanya melaksanakan apa yang didawuhkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim memerintahkan agar pesantren tersebut dibangun di daerah yang masih minim agamanya supaya ajaran Islam bisa tersebar luas. Dibelilah tanah di daerah Seblak oleh Kiai Hasyim yang letaknya sekitar 200 meter dari Pesantren Tebuireng. Daerah Seblak ini dikenal sebagai area hitam, masyarakatnya masih jauh dari tuntunan syariat.

Saat sedang asyik-asyiknya dalam mengembangkan Pesantren Seblak bersama sang suami, Syaikhah Khairiyah mendapatkan ujian yang begitu berat. Sang suami menderita penyakit paru-paru dengan waktu yang lama dan belum kunjung sembuh. Karena sudah tidak tahan menahan rasa sakit, akhirnya ia kembali ke Rahmatullah pada tangal 24 Ramadan 1351 H / 8 Januari 1933 M dengan usia 33 tahun.

Meninggalnya Kiai Ma’shum Ali menjadi pukulan berat bagi Syaikhah Khairiyah dan Pesantren Seblak yang dirintisnya serta Pesantren Tebuireng yang ia masih aktif mengajar di dalamnya. Semua ini terjadi, sebab Kiai Ma’shum Ali merupakan Kiai Jombang yang menjadi referensi setelah Kiai Hasyim Asy’ari. Ialah sosok kiai yang menggagas adanya Madrasah Salafiyah Syafi’iyah di Pesantren Tebuireng.

Melihat kondisi Syaikhah Khairiyah yang menjanda dalam usia yang relatif muda, yaitu sekitar usia 27 tahun (sebagian pendapat kurang dari usia tersebut), maka Kiai Hasyim merasa sangat prihatin dan ingin segera mencarikan jodoh lagi jika masa iddahnya sudah habis. Ia ingin mencarikan jodoh yang alim sebagaimana Kiai Ma’shum Ali agar bisa diajak untuk mengembangkan Pesantren Seblak yang kehilangan figur utamanya.

Kabar duka yang menerkam Syaikhah Khairiyah sebagai putri seorang ulama terkemuka di Pulau Jawa cepat mernyebar hingga ke berbagai pelosok, bahkan kabar tersebut terdengar hingga ke Haramain melalui buah bibir dari jamaah haji yang berasal dari Nusantara. Di antara penduduk Nusantara yang bermukim di Makkah yang mendengar kabar duka tersebut adalah Kiai Abdul Muhaimin al-Lasemi, seorang ulama dari Lasem, Jawa Tengah yang mukim di Makkah dan menjadi pengajar di sana. Ia masih mempunyai hubungan kerabat dengan Kiai Hasyim Asy’ari, sebab ia merupakan menantu dari Kiai Hasbullah Tambak Beras yang tidak lain adalah paman Kiai Hasyim Asy’ari. Saat mendengar kabar itu, Kiai Muhaimin statusnya adalah duda sebab istrinya telah meninggal di Nusantara. Semenjak kemangkatan istrinya, Kiai Muhaimin memantapkan diri untuk menghabiskan sisa umurnya di Haramain. Karena kedalaman ilmunya, ia diangkat untuk menjadi Mudir ‘Am di Dar al-Ulum yang pelajarnya berdatangan dari berbabagai negara, khususnya Asia Tenggara. Selain sebagai Mudir ‘Am Dar al-Ulum di Haramain, ia juga sebagai ketua majlis Raudlatul Munâdzirin, sebuah ajang diskusi (bahstul masâil) yang membahas masalah kajian Fiqih yang pesertanya dari kalangan ulama dan pelajar Melayu yang berada di Haramain.

Setelah masa iddah Syaikhah Khairiyah usai, terbesitlah dalam diri Kiai Muhaimin untuk meminangnya. Ia sangat berharap pinangan tersebut diterima sebab Syaikhah Khairiyah merupakan sosok perempuan yang baik agama dan nasabnya. Karena jaraknya yang jauh, antara Haramain dan Pulau Jawa, Kiai Muhaimin meminta kepada suami adik iparnya, Kiai Bisri Syansuri agar menyampaikan lamarannya kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Mendengar kabar pinangan tersebut, Kiai Hasyim merasa sangat bahagia. Cita-cita Kiai Hasyim untuk mempunyai menantu yang alim telah dikabulkan Allah lagi. Saking bahagianya Kiai Hasyim akan mendapatkan menantu yang alim, dengan antusiasnya ia bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh Kiai Muhaimin. Salah satu keinginan Kiai Muhaimin adalah, ia meminta kepada Kiai Hasyim agar memberikan izin mengenai niatnya untuk membawa Syaikhah Khairiyah ke Makkah guna menemani dakwahnya di sana.

Karena banyaknya wadifah (tugas) keilmuan yang diemban oleh Kiai Muhaimin, maka untuk masalah ijab qabul pernikahannya, ia serahkan kepada keluarganya yang ada di Lasem, yaitu Kiai Baidlowi ibn Abdul Aziz (kakak kandung Kiai Muhaimin). Acara ijab qabul pernikahan tersebut diselenggarakan di kediaman Kiai Baidlowi pada tahun 1938 M. Setelah resmi menjadi istri Kiai Muhaimin, Syaikhah Khairiyah diantar ke Makkah oleh saudaranya, Kiai Akarhanaf guna diserahkan kepada Kiai Muhaimin selaku sebagai suami yang sah atas diri Syaikhah Khairiyah.

Dengan menjadi istri Kiai Muhaimin, maka kualitas keilmuan Syaikhah Khairiyah semakin terasah sebab adanya jaringan global yang berpusat di Haramain. Kiai Muhaimin tidak hanya mengajar pelajar dari Nusantara, melainkan dari berbagai manca negara. Oleh sebab itu, mau tidak mau, Syaikhah Khairiyah akan terbawa arus dengan lingkungan suaminya tersebut yang penuh dengan kajian keilmuan.

Mahligai rumah tangga Syaikhah Khairiyah bersama dengan Kiai Muhaimin membuahkan tiga keturunan, akan tetapi semuanya meninggal dunia. Meskipun tidak mempunyai keturunan, keduanya senantiasa gigih dalam memperjuangkan agama Allah hingga akhir hayatnya. Kiai Muhaimin wafat pada 1946 M. Setelah suaminya meninggal dunia, Syaikhah Khairiyah masih mengabdi di haramain sebagai mudirah di Madrasah Kuttabul Banat hingga akhirnya ia diminta Presiden Soekarno agar berkenan kembali ke Indonesia sebab bangsanya masih sangat membutuhkan sumbangsih keilmuannya. Dengan penuh pertimbangan akhirnya Syaikhah Khairiyah berkenan kembali ke Indonesia pada 1957. Sejak tahun itulah ia mengabdikan diri lagi mengasuh Pesantren Seblak hingga akhir hayatnya.

Saat kembali ke Indonesia, Syaikhah Khairiyah aktif di berbagai organisasi seperti menjadi ketua Fatayat NU (1958-1962), anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1960-an), mengajar di Pesantren Tebuireng, Seblak, dan mengisi berbagai kegiatan majelis ta’lim, khususnya bagi kaum Hawa. Ia sangat mencita-citakan adanya emansipasi pendidikan bagi perempuan secara stuktural meskipun hal semacam itu masih kedengaran asing di telinga para kiai.

Untuk wilayah Jombang, gerakan emansipasi wanita dalam bidang pendidikan Islam dimulai pada zaman 1919 oleh Kiai Bisri Syansuri. Ia bersama dengan Nyai Nur Khadijah mendirikan Pesantren Banat. Karena usaha tersebut tidak ditegur oleh Kiai Hasyim selaku guru yang sangat dihormatinya, maka dengan penuh kemantapan ia melanjutkan usahanya itu. Diamnya Kiai Hasyim yang melihat berdirinya Pesantren Putri yang dirintisnya, dianggap sebagai kebolehan atas hukum mendirikan lembaga pendidikan bagi perempuan. Seandainya Kiai Bisyri Syansuri tidak membuat terobosan yang seperti itu, maka dikawatirkan emansipasi pendidikan wanita akan dikuasai oleh Belanda. Banyak perempuan bumiputera yang belajar di sekolahan yang didirikan oleh Belanda atau yang ada kaitan dengannya. Jika perempuan Muslimah tidak mempunyai wadah tersendiri, maka keilmuan mereka akan tertinggal atau teracuni dengan misi Belanda yang selain ingin mengeruk harta pusaka tanah air, mereka juga ingin menyebarkan Agama Kristen. Oleh sebab itu, langkah Kiai Bisri Syansuri ini sangat tepat sekali, terlebih Jombang di waktu itu sudah ada gerakan emansipasi wanita yang dikembangkan oleh Nyonya M.C.E. Ovink Soer, istri Residen Belanda yang bertugas di Jombang yang akrab dengan Kartini.

Ketika Kiai Bisri Syansuri mendirikan Pesantren Banat, Syaikhah Khairiyah baru membina rumah tangga dengan Kiai Ma’shum Ali. Ia sangat menyetujui gagasan tersebut. Oleh sebab itu, Kiai Hasyim meminta Pesantren Seblak untuk membuka wadah pendidikan bagi Kaum Hawa yang kemudian pesantren tersebut berkembang pesat di zaman kepengasuhan Syaikhah Khairiyah usai kembali dari Haramain. Karena prestasi Syaikhah Khairiyah ini, maka Pesantren Seblak dikenal sebagai pesantren putri.

Karena pentingnya pendidikan bagi wanita, maka Syaikhah Khairiyah mendidik kedua putrinya, Abidah dan Jamilah dengan sebaik-baiknya pendidikan. Dari usaha gigih Syaikhah Khairiyah dalam pendidikan tersebut, maka tidak mengherankan jika salah satu putrinya, Abidah dikenal dengan sebutan “Kartini dari Jombang”. Prestasi Abidah dalam masalah pendidikan adalah berdirinya pesantren putri yang dirintisnya bersama suaminya, Kiai Mahfudz Anwar saat Syaikhah Khairiyah masih di Makkah.

Karena pentingnya pendidikan bagi kaum Hawa, maka saat Kiai Muhaimin menjadi Mudir Am di Dar al-Ulum Makkah, ia mengusulkan agar didirikan Madrasah Banat (Kuttabul Banat) sebagai pelengkap dari Dar al-Ulum yang pesertanya hanya terdiri dari Kaum Adam. Setelah melalui pertimbangan yang matang, akhirnya berdirilah Kuttabul Banat di Saudi Arabia pada tahun 1942. Dari Madarasah Banat yang dirintis oleh Syaikhah Khairiyah, maka lahirlah pesantren atau lembaga pendidikan putri di Saudi Arabia seperti yang dilakukan oleh Syaikh Husein al-Palimbani dan Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani bersama dengan istrinya. []

Oleh : Amirul ulum