Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kampus Merdeka

Bulan Januari 2020 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan tentang "Kampus Merdeka". Kampus merdeka merupakan sebuah rombakan dalam dunia perkuliahan, di mana bagi kampus, diperbolehkan untuk membuka prodi baru apabila kampus tersebut terakreditasi A atau B. Lalu bagi mahasiswa, jumlah SKS yang wajib diambil oleh seorang mahasiswa akan dikurangi. Mahasiswa nantinya hanya diwajibkan untuk berkuliah sebanyak 5 semester dari total 8 semester, kemudian kampus wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk mengambil SKS di luar perguruan tinggi sebanyak 2 semester. Entah itu magang, pengabdian masyarakat, pertukaran pelajar, maupun menjadi pengajar di daerah-daerah terpencil. Mahasiswa juga diperbolehkan mengambil SKS di prodi yang berbeda namun masih di dalam kampus yang sama sebanyak 1 semester, namun ini sifatnya tidak wajib
Kampus Merdeka

Meskipun begitu saya pribadi tidak sepenuhnya setuju dengan kebijakan yang dibuat beliau, memang ada positif dan negatifnya. Saya setuju dengan kebijakan yang dibuat Pak Nadiem, dilihat dari latar belakang dan tujuannya memberlakukan kebijakan ini adalah untuk memberikan pengalaman dunia kerja kepada mahasiswa. Terlebih untuk para mahasiswa yang merasa salah jurusan dan ingin mengembangkan diri tentu saja pilihan ini bisa diambil. Namun Pak Nadiem sendiri tidak mewajibkan itu, beliau hanya menawarkan jika diambil boleh tidak diambil pun tidak masalah.

Namun saya juga kurang setuju dengan kebijakan tersebut karena prodi S1 sudah merancang kurikulum sedemikian rupa sehingga output yang diharapkan adalah lulusan profesional yang diarahkan pada penguasaan serta pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknik. Dan ini juga yang membedakan program sarjana dengan diploma. Lulusan diploma itu diharapkan mampu mengembangkan keterampilan dan penalarannya dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bisa dibilang secara garis besar, sarjana unggul dalam hal teori, namun secara praktik, belum tentu sih diploma lebih unggul, namun sarjana sudah pasti lebih mantap dalam hal ilmu pengetahuan dan teorinya.

Mengenai pembahasan tentang program studi S1, pada umumnya kampus telah menyusun kurikulum dari sebuah disiplin ilmu ke dalam 144 SKS yang akan diselesaikan dalam 8 semester. Dalam perkuliahan pun mahasiswa diberi tahapan-tahapan dalam pembelajarannya. Semester 1 dan 2 masih dalam tahap pembekalan agar kemampuan dasar mahasiswa itu cukup untuk menghadapi materi-materi di prodinya masing masing. Semester 3 dan 4 materi mulai masuk ke arah progra studi yang dipilih. Semester 5 dan 6 kita sudah diberikan materi advance di disiplin ilmu tersebut hingga akhirnya, semester 7 dan 8 yang mempersiapkan kita masuk ke dunia kerja, mempersiapkan kita untuk menjadi seorang sarjana.

Masalahnya adalah, apakah mahasiswa semester 5 itu mampuh diberi hak seperti itu? Maksud saya, apa bisa dengan berkuliah selama 5 semester di prodi pilihan, sisanya setiap mahasiswa bebas menentukan pilihannya, bahkan bisa mengambil jalur yang tidak ada hubungannya dengan prodi yang dipilih dan pada saat diwisuda dengan gelar sarjana prodi tersebut, padahal mahasiswa baru berkuliah 5 semester.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IKIP PGRI Pontianak, Ansarrudin menanggapi perihal program Kampus Merdeka yang direncanakan oleh Kemendikbud. Ia mengatakan bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia saat ini sangat banyak sekali. Pada 2017 data riset Dikti menunjukan ada 4.504 unit perguruan tinggi yang terdaftar dan didominasi oleh kampus swasta lebih dari 3000 unit. “ Tetunya hal ini menjadi tantangan utama yang sangat besar dalam menjalankan program ini. Terutama bagi kampus-kampus swasta yang lebih dari 3000 tersebut,” ujarnya

Ia juga mengatakan dalam melaksanakan keseluruhan program tersebut perlu SDM dan fasilitas yang memadai dan mendukung untuk mensukseskan itu semua. “Karena kebanyak kampus swasta belum siap dengan segala tantangan tersebut dari segi SDM dan fasilitasnya. Karena memang bantuang dari pusat untuk operasional kampus swasta tidak kurang dari 35 persen,” jelasnya.

Sebagai contohnya apabila salah satu program tersebut di terapkan di IKIP-PGRI Pontianak. “Mahasiswa di perbolehkan mengambil mata kuliah di luar prodi sebanyak 40 SKS. Ini tentunya akan berpotensi pertambahnya jumlah jam mengajar bagi dosen,” imbuhnya. Sedangkan di kampus swasta masih sering ditemukan kekurangan tenaga dosen untuk mengajar di kelas. Belum lagi rangkap jabatan fungsional dan struktural yang masih diterapkan di kampus swasta mengakibatkan dosen sering tidak mengajar.

Kalau dilihat dari sudut pandang mahasiswa, diberikan pilihan seperti ini sebenarnya tidak masalah bagi mereka. Bagi makasiswa yang ingin menekuni bidangnya sebagai contoh mereka ingin menjadi dosen, itu tidak menjadi masalah bagi mereka. Akan tetapi bagi para mahasiswa yang sudah merasa penat berkuliah, malas-malasan, dan merasa salah jurusan sudah pasti diuntungkan. Karena para mahasiswa berfikir dengan kebijakan tersebut maka mereka bisa mengajar di desanya dan bisa mengabil 1 semester di program studi lain lalu sudah bisa lulus.

Karena kebanyakan yang dipikirkan mahasiswa adalah yang penting lulus tanpa memikirkan pendidikan di Indonesia. Namun, seperti yang saya jelaskan diatas, mungkin harus ada sistem yang mengatur ini semua sehingga kegiatan ini lebih tepat sasaran. Karena sarjana tidak cukup belajar 5 semester dalam prodinya, yang nantinya mau mencari pengalaman kerja ilmunya juga nanggung. Siti Yuni Puspitasari